PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
Ziarah Waktu
Tidak ada kenangan bagi masa lalu,
semesta hanya kota kosong dengan kita sebagai gedungnya.
Ada saatnya ketika kau bangun dari tidur pagimu,
dan kenangan telah lebih dulu membuka pintu.
Lalu kita berlomba menjadi orang lain.
Iya, kita selalu menjadi orang lain setiap berpapasan.
Waktu seakan tamu paling asing,
kita justru temu paling hening.
“Jangan terlalu mencintai waktu, dia dapat memperdayaimu.”
Begitu pesanmu, sesaat sebelum kau mengemas tubuhmu,
sebuah koper kulit dan kamera digital,
setumpuk surat dan Koran-koran.
Kau hanya mengemas sesuatu
yang bahkan tak ingin pergi begitu saja.
Kau tahu, waktu telah membawamu menjadi orang lain.
Lebih hantu dari masa lalu
lebih batu dari aku.
Maka selama pelarian ini,
biar masa lalu merawat kita yang sejati.
Sampai kita selesai menjadi orang lain,
sampai kita tahu lawan menang dan kalah bagi kita sendiri.
C Mayor 2016
Ziarah Cermin
Diantara kita ada seribu pecahan -penyeberangan bagi kenangan-
untuk masa lalu dan kemudian yang saling tumpang tindih,
memuai dan menjadi batasan bagi kita. Demikian sering kita
membuat retak, retak yang alirannya membawa jauh sua dan suara
: dimulai dari nada bahagia, sampai gaung maha canggung.
Semua aliran menyatu membentuk kanal kecil di depan mataku.
Bening di pandangku, keruh dalam sisimu yang lain.
Sedang di kamarku, puluhan tikar menggelar tangannya.
Tikar dari kita berbelanja dulu, beberapa dari sutra, sisanya
rajutan rumahan. Semua adalah apa yang kita beli dari dunia di ujung jalan,
terbaring begitu saja, melihat kita yang hanya saling pandang.
Dan dari pecahan paling sunyi, aku menemukanmu demikian sepi.
Jika dapat, mari kuajak kau pergi, mencari pecahan yang lain.
Diantara kita ada seribu sungai, tanpa air hanya waktu.
Namun tidak membawa jauh temu kita, hanya retak tanpa sumbu.
Dan tikar kita hanya jadi buah tangan
dari kita para pembeli, pengembara masa lalu.
2016
Ziarah Bulan
: Pada si Sanguis AR
Hanya bundar, bundar kuning bulan mentega.
Dalam malam yang selalu kita lamunkan, hanya hitam lembut.
Ribuan lembar selimut kabut,
: wajah waktu yang tergerus tubuhnya sendiri.
Tidak ada api yang biasanya hinggap di mata kita,
hanya kerlap bintang yang jatuh tenggelam
dalam cahayanya sendiri.
Aih, setan mana lagi yang membuat sendu jadi begitu biadab?
Sedang kita tidak menginginkan pantai,
atau usia yang demikian landai.
Tuhan maha lucu,
malam maha ragu.
Teringat aku dongeng ibu saat kecil dulu,
Katanya, Tuhan menyimpan rindu dalam bulan rasa keju.
: atau keju rasa bulan.
Yang sakral bagi mereka pemuja temu.
Sebab mereka menjadi cahaya bagi yang sudi
menyimpan bulan dalam diri.
Maka, tetaplah di Tanjung bersama waktu.
Aku akan pulang, dengan buah tangan bulan.
Untuk kita santap berdua, kemudian kita lahir
menjadi cahaya.
Cahaya bagi malam,
cahaya bagi api kita.
Lalu dari cahaya, kita akan lebih cinta
dari bulan dan laut.
Disamping Tuhan yang lucu nanti memarahi kita,
dan memanusiakan kita bersama entah bila masanya.
Sudut Kota P 2016
Ziarah Sajak
Salam padamu, puisi.
Apa kabar hari ini?
Kami masih setia mengeluarkan diri
menjadi apa yang selalu disembah sebagai Inkarnasi.
Bahkan lampu di rumahku ini
tak sudi memeluk cahaya sendiri.
Sedang anak-anak tengah lelap melahap mimpi
dari kawah paling ramah,
belum terjamah tirai-tirai cahaya.
Lalu, batu waktu dilempar
mengetuk mata air dalam kawah masa kecil.
Bayang kecil itu terbang dan hilang
seakan sadar akan apa yang menunggunya :
waktu takkan berhenti menguliti tubuh masa kecilnya.
Katakan padaku, puisi.
Tentang mukjizat membunuh diri sendiri.
Dan inkarnasi menjadi diri yang lain,
hati yang asing, hening pada mata yang lain.
Apakah persinggahan ini adalah awal dari kita yang lain.
atau justru sebaliknya.
Bahkan pada hari lahirmu, puisi.
Kami masih menjadi orang lain.
Tanpa niat mengunjungi kawah itu kembali,
tanpa kita menulis mimpi tentang kami dan kita
yang dulu satu rohani.
Maka, pada pelarian asing ini,
kami rela tenggelam dalam sumur maha diri.
Maka pada tubuh mungilmu, puisi.
Kami ucapkan selamat bermuda diri.
Panjang luhur, mudah abadi,
Amin..
Malam Hari Puisi 2016
Zamrud
Tentang apa yang dulu tabu bagi berita masa lalu, adalah yang seharusnya berkilau pada jenjang leher kami yang demikian langkau, mencoba menepis kematian. Yang aslinya, kilau berharga yang demikian terpendam dalam kedalaman tanah.
Banyak yang bilang, asal keberadaannya belum jelas. Yang justru membuat seribu mata, seribu keyakinan berpikir seluruh desa akan bahagia dengan sekian kehadirannya sepanjang usia.
Mungkin, aku akan memilih rumput hijau sekilau zamrud yang menjadi buah bibir itu. Sebagaimana aku mempercayainya mampu mengusir sedih sejak awal mula aku pandai berlari.
Rupanya, para tetua pemuja magis memenggal saudaranya sendiri demi hak waris mistis benda itu.
Yang kami tahu hanya bersembunyi, ketika para Bijak dan orang alim tengah meringkusnya, sedang dalam kepala -siapa saja dapat mengetahuinya- mereka tengah merencanakan hal yang sama.
Bagaimana mereka begitu beringas meminta semuanya sedang benda berwarna hijau itu sudah ada di bawah kaki mereka, padahal mereka membayar kami sekantong emas demi beberapa linggis dan palu yang siap hantam di seluruh tanah lapang.
Dulu, tetua bilang itu air mata dewa, sanggup membawa kita dekat ke surga dalam masa bernyawa. Jika para perempuan rela menutup malu dan mengikatnya pada setiap lengkung lengan dan belah dada mereka.
Entah kenapa, kepalaku senang menyembunyikan diri saat tahu semua pemuja batu hanya pendongeng masa lalu, yang percaya pada magis yang sebenarnya tidak pernah ada.
Sedang aku, masih berdoa dan menunggu, mengais rumput dan sisa batu dari tanah lapang yang lama berlubang itu.
Galeri G 2016
Eko Ragil Ar-Rahman, kelahiran Pekanbaru 22 Juni 1995 merupakan Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Islam Riau. Bergiat di Community Pena Terbang (COMPETER) Season 3. Pecinta music Celtic dan Lukisan Surealisme ini selain menulis puisi juga menulis beberapa cerpen. Tulisannya pernah menyapa beberapa media cetak dan online, seperti Riau Pos, Rakyat Sultra, Sumut Pos, Litera.co.id dan Detakpekanbaru.com. Tengah Merampungkan Buku Puisi Pertamanya “Asmaranaloka”. Pin 57AA4D69