Menikahi Batin
Telah aku sempurnakan usia lajang dalam asuhan ibu yang mendekati senja penghabisan. Ibu tak meminta perempuan bermata berlian,
berwajah cleopatra. Atau perempuan penguasa kitab suci.
Aku mencintai mirah, bu.
Ibu mengenal mirah hanya dari lisanku.
Membayangkan sambil menerka mirah dari kejauhan.
Seperti dulu aku ceritakan siti maisaroh yang pupus termakan usia.
Siti tak membalas iyaku, sedangkan aku begitu iya padanya. Nasib.
Mirah ratu dalam jiwaku.
Ia bersanding bersamaku di ruas ruas waktu.
Tak sabar menunggu pelaminan tercipta.
Jantungku bergedup tak karuan.
Ibu tersipu sipu senang.
Hatinya merekah mawar segar,
melati mewangi rebak.
Di usiaku kini, bu,
engkau perkenankan aku menikahi Mirah.
Perempuan yang engkau saksikan menyempurnakan separuh keimananku.
Dan aku berhenti berniat menikahi batin sendiri.
Duren Jaya, 18-11-2015
Mas Haji: Pendi Ali S
Jarak terdekat bagimu
Seperti rindu yang memberangkatkan
Doamu menemui kekasih
Kekasih sepenuh hari bagi jiwa yang sepi
Engkau yang menahan perih
Jarak terjauh bagimu
Seperti spasi yang tak menemukan keserasian pada bukit bukit kata
Makna makna sajak yang tertulis di dada
Engkau teramat tenang menjaganya
Jarak terdekat bagimu
Seperti panggilan ibrahim yang menunggu
Tawaf ketika engkau melingkari kabah dan seruan talbiyah
Engkau getarkan dinding dinding jiwa
Jarak terjauh bagimu
Seperti kematian yang tak terjangkau isi kepala menerka kausalitas azali
Kematian seharum wangi sorga
Engkau khusnul khotimahkan sehabis penutup doa
:selamat menghajikan kehidupan mas Haji Pendi Ali S
Puisimu Telah Aku Baca
Menulis puisi setahuku
Seperti menghayati isi kalbu
: kita begitu menguasai
Kisah mencintai berbalas pupus
Seperti garam yang melumer di luka
: kita menguraiairmata
Puisi tercipta bersama hembusan lirih
Menoreh di atas gadget dan kertas
: kita bubuhi puisidengan diksi diksi
Katamu, puisiku mengancam
Meneror hati perempuan lugu
: menyingkap desiran cinta dibalik lisan
Puisimu, kataku menipu para pria
Larik larik candu menggelora
: bagai arak perjamuan asmara
Puisimu yang berbait itu
Menyerupai bibir manis
: menjawab risau di kepalaku
Puisimu yang bersajak itu
Puisi yang telah aku baca
: sesaat puisimu aku selami.
Bekasi Kota, 10 Muharam 2015
Bumi Para Pendusta
"Beres, pak."
"Ini sekedar tanda awal.
Sisanya setelah semuanya beres"
Langit pecah di atas kepala mereka. Transaksional petaka di meja meja tuamelapisi dua sisi zaman. mereka bekerja dengan dua motif. Kalau pun pesananterserta bill jasa. Atau bila berbilang pekerjaan terusan, maka porsi kanan kirinya mesti jelas. Sejelas topik makan siang bersama klien.
Markup hanyalah sedikit keringat dari kecilnya resiko memeras otak. Mereka mahir mengkalkulasi laba hingga melebihi nafkah tujuh turunan. Fantastis, anggap kelumrahan legal milik bersama. Siapa yang kurang, harap bilang. Siapa yang meruah, jangan bilang bilang.
Bumi para pendusta mengajarkan bagaimana menghalalkan dusta. Merubah posisi lisan mengikuti alur perkembangan. Menyesuaikan kebijakan menurut aturan aturan sepihak. Meregulasi masa depan demi kesepakatan para pemilik hajat. Dan intinya mereka paham semua isi dunia.
Kepala bukan berangkas barang barang mulia. Apalagi gagasan memangkaskemiskinan dalam tempo sekilat kilatnya hingga tak terbatas. Kemiskinan dan kekayaan merupakan opsi kesadaran. Selanjutnya bagian eksekusi multi level.Wajar bila para pendusta kaya raya, kaya kesempatan, dan terbebas kefakiran.
Bumi para pendusta mengandung janindi rahim ibupertiwi. pada usia kandungan yang hampir menetas, doa doa ibu seperti hendak memaksa di azali. Menangis berat dalam suara doa: "Ya Tuhan, angkatlah entah itukutukkan, azab, atau bala yang bakal menimpa anak anak kami."doanya menyesakkan altarNya.
.jpg)