Bip, bip. Drrrr...drrrr.
Ponsel pintar Rudi yang tergeletak di meja belajar berdering dan bergetar. Rudi meletakkan majalah remaja yang dibacanya ke meja belajar, lalu meraih ponselnya. Sebuah pemberitahuan dari Facebook. Seseorang bernama Sandra Wijaya mengirim permintaan pertemanan. Rudi tersenyum melihat foto gadis itu.
Biasanya, Rudi terlebih dulu menyelidiki profil pengirim permintaan pertemanan, sebelum memutuskan menerima atau menolak permintaan tersebut. Tapi, untuk gadis bernama Sandra Wijaya itu, Rudi begitu yakin pada kejujuran data profil gadis itu.
Tanpa ragu, Rudi menyentuh tulisan Konfirmasi Permintaan.
Sandra Wijaya, usia 16 tahun, kelas XI SMA Peradaban, tinggal di Jalan Jenderal Sudirman Nomor 12 Semarang, hobi membaca. Begitu data yang tertulis di profil. Rudi mengamati foto-foto dalam akun gadis itu. Beberapa foto close up, dan beberapa foto gadis itu bersama gadis-gadis lain –mungkin teman-temannya—membuat senyum Rudi makin lebar.
Sandra Wijaya dalam foto profilnya berkulit putih, hidung agak mancung, rambut sebahu, dan tersenyum menampakkan sedikit deret gigi putih dan rapi.
“Wow,” gumam Rudi, tak berkedip memandang foto gadis itu.
Bip, bip. Drrr....drrrr.
Rudi merasakan getaran ponselnya merambat ke dadanya yang tiba-tiba berdesir. Sebuah pesan masuk melalui Facebook Messenger.
>> Trims, kakak. Sudah konfirm.
> Sama-sama, adik.
>> Kakak sedang apa?
> Sedang baca pesan kamu
>> Hihi, kakak lucu.
> Dan kamu cantik.
>> Gombal, ah.
Rudi makin bersemangat.
Jujur, kok. Suer.
Beberapa lama tak ada balasan. Alis Rudi bertautan. Ia menunggu beberapa saat, tapi layar ponselnya tak memunculkan pesan lagi.
Hei, halo? Apa aku salah bicara?
Bip, bip. Drrr...drrr.
Kapan kakak bicara? Dari tadi kakak cuma menulis, kok? Xixi... Sudah ya, kak. Sambung besok lagi. Ngantuk, nih.
Rudi bergegas mengetik.
Ya, udah. Met bobok. Mimpi tentang aku, ya?
Gadis itu membalas.
Kalau saya mimpi tentang kakak, nanti ada yang marah?
Rudi bersemangat membalas.
Emang ada yang marah?
Datang lagi sebuah balasan dari gadis itu.
Tauk, ah. Daaa, kakak.
Rudi tersenyum, lalu meletakkan ponsel pintarnya ke meja belajar. Ia menghela napas, seperti merasakan sesuatu yang sangat melegakan dadanya.
Rudi menarik laci meja belajar, mengambil ponselnya yang lain. Sebuah ponsel lipat yang mungil berwarna putih. Rudi membuka lipatan ponselnya. Layar pun menyala. Ia membuka menu Pesan, memasukkan sebuah kontak, lalu menulis SMS.
Joko, aku dapat kenalan cewek di Fb. Cantik sekali. Besok atau kapan, aku akan kopdar dengannya.
Jempol kanan Rudi hendak menekan tombol Kirim, tetapi selama beberapa saat jempol itu tak juga menekannya. Rudi menggigit ujung bibirnya. Meski layar ponselnya telah gelap, tapi ia belum juga menekan tombol Kirim. Rudi menggigit ujung bibirnya makin dalam.
Rudi melirik jam di dinding kamar. Pukul 23.45. Akhirnya, Rudi melipat kembali ponselnya. Klak!
***
Minggu pukul 09.30. Rudi sudah mandi, sudah sarapan, tapi tak tahu hendak ke mana. Dari tadi ia duduk di depan televisi, tapi ia tidak tahu acara yang ia tonton. Tatapannya seperti kosong. Sesekali malah ia senyum-senyum sendiri.
Bip, bip. Drrr...drrr.
Ponsel pintarnya yang tergeletak di meja depan televisi, berdering dan bergetar. Sebuah pemberitahuan dari Facebook; Sandra Wijaya memperbarui statusnya. Baru saja.
Mata Rudi seketika bercahaya, bibirnya mengembangkan senyum lebar. Ia bergegas membuka pemberitahuan itu. Sebuah status baru dari Sandra Wijaya.
Otw, gramedia jl pandanaran semarang.
Sigap, Rudi bangkit dari sofa ruang tengah, meraih ponsel pintarnya, bergegas ke kamar. Tak lupa, Rudi juga menyambar ponsel lipatnya dari laci meja belajar, memasukkannya ke saku celana jins. Sementara ponsel pintarnya masuk ke saku kemeja kotak-kotak merahnya.
Rudi menyambar jaket kulit warna coklat yang tergantung di balik pintu, menyambar pula helm full face warna merah dari atas lemari, lalu menuju garasi. Rudi mengeluarkan Satria hitamnya, memencet tombol starter, mesin pun menderu. Ia memutar-mutar grip gas beberapa kali, lalu melajukan motornya; roda depannya sedikit terangkat, bahkan ia hampir saja menabrak pintu pagar.
Tak sampai sepuluh menit, Rudi sudah sampai di Gramedia. Pengunjung di lantai dua belum begitu ramai, karena toko buku baru saja buka. Rudi mengedarkan pandangan ke semua penjuru arah, dan ia melihat beberapa gadis di sana.
Rudi mengeluarkan ponsel pintarnya dari saku kemeja kotak-kotak merahnya. Membuka foto profil Sandra Wijaya, membandingkan wajah gadis itu dengan wajah gadis-gadis di lantai dua. Rudi menghela napas, menggigit ujung bibirnya.
Rudi berjalan menuju rak yang terdekat dengan tangga. Tatapannya tak pernah lepas ke arah tangga. Setiap melihat orang yang naik ke lantai dua bukan gadis yang dicarinya, Rudi menghela napas dan menghembuskannya dalam satu hembusan.
Akhirnya, senyum Rudi mengembang. Ia melihat dua gadis berjalan menaiki tangga. Gadis berbaju kuning tampak lebih muda, sementara gadis berbaju pink berkulit putih, hidung agak mancung dan berambut sebahu. Mereka menaiki tangga sambil berbicara dan ketika itu Rudi melihat gadis berbaju pink itu tersenyum menampakkan deret gigi yang putih dan rapi.
Sepasang mata Rudi membulat dan mulutnya spontan bergumam, “Wow.”
Rudi terus memperhatikan kedua gadis itu. Mereka berhenti di rak Novel. Rudi membuka kembali ponsel pintarnya, membandingkan foto dalam ponselnya dengan wajah gadis berbaju pink itu.
Rudi berjalan mendekati kedua gadis itu.
“Permisi,” Rudi sedikit membungkukkan badan ketika berada di dekat mereka.
Gadis berbaju pink dan gadis berbaju kuning, berbarengan menoleh.
“Ya, ada apa?” sahut gadis berbaju pink.
“Kamu Sandra? Sandra Wijaya?”
Gadis berbaju pink itu menatap Rudi beberapa saat, lalu menjawab, “Anda siapa?”
“Saya Rudi Satria. Semalam kita berkenalan di Facebook.”
Gadis berbaju pink membelalak.
“Kak Rudi? Aduh, maaf, Kak, saya ndak tahu.”
Rudi melihat senyum gadis itu lebih manis dari senyumnya di foto. Lalu gadis itu –tak lain adalah Sandra Wijaya-- mengenalkan gadis berbaju kuning yang bersamanya itu sebagai adiknya. Sandra bercerita bila tadi ia berada di lantai satu selama beberapa menit, membeli tas, sebelum kemudian naik ke lantai dua.
Dalam satu kesempatan –ketika Sandra sedang melihat-lihat deretan novel—Rudi mengeluarkan ponsel lipatnya. Rudi mengirim SMS pada seseorang.
Joko, tidak selalu wajah cantik di Fb itu palsu.
Rudi tidak peduli apa jawaban dari Joko. Rudi kembali fokus pada pertemuannya siang itu dengan Sandra Wijaya. Gadis yang fotonya begitu cantik di Facebook. Cantik alami, bukan cantik karena modifikasi digital.
***SELESAI***
Sulistiyo Suparno, kelahiran Batang, 9 Mei 1974. Cerpen-cerpennya tersiar di Minggu Pagi, Banjarmasin Post, Cempaka, Radar Surabaya, Metro Riau, Riau Pos, Tanjungpinang Pos, Merapi Pembaruan, Nova, Suara Merdeka dan lainnya. Bergiat di Komunitas Pena, perkumpulan penulis di Batang. Bermukim di Batang, Jawa Tengah.