Nyanyian Anak-anak Petani, Nyiram Tembakau, Terimalah Cintaku, Pincuk dan Lele Basah, Mari Berpesta

Rabu, 10 Agustus 2016 | 07:42:59 WIB
Ilustrasi. (aliexpress.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
Nyanyian Anak-anak Petani
 
Langit selalu membuat mata kami perih
ketika musim menjatuhkan hujan satu-satu
namun kami, yang lahir dari rahim tembakau
takkan pernah menitikkan air mata 
sebab kami adalah orang-orang tangguh 
yang tak pernah gentar dengan panas dan hujan 
itu sebabnya kulit coklat
dan wajah angkuh selalu mengiringi langkah kami
 
wajah angkuh kami tidak pada sesama
wajah angkuh kami bukan untuk menjadi penguasa
tapi wajah angkuh kami sebagai tanda 
bahwa kami adalah orang-orang yang setia
pada keluarga dan orang tua
 
maka kami akan turun kesawah
merawat tanah 
sebagai hormat kami pada ibu dan ayah 
yang telah melahirkan kami 
dari dingin dan panasnya musim
 
pincuk, 2016
 
 
 
Nyiram Tembakau
 
kagagahi tanah kering dan panas ini
agar kau tumbuh berbunga emas dan permata
 
pincuk, 2016
 
 
 
Terimalah Cintaku
 
ada yang musti kukatakan 
pada langit dan bumi
tatkala kualirkan keringatku
untuk membasahi sawah-sawah yang mengering ini
 
jika bukan karena cinta 
yang kau ciptakan
lewat musim-musim
hingga panas dan hujan 
selalu menawarkan kesejukannya masing-masing
untuk apa kugagahi matahari
yang membuat wajahku mengelupas
 
maka terimalah cintaku wahai Nida
akan kubuat kau bahagia 
dengan  romantisme petani yang mengalir ditubuhku 
 
pincuk, 2016
 
 
 
Pincuk dan Lele Basah
 
aku pergi kebarat
mencari engkau
sedang barat telah menelanmu
lalu aku kembali ketimur
namun timur telah menjauh dariku
 
lalu kuputuskan untuk tetap pergi
pergi dari bayang-bayang
pergi dari segala damba
cinta dan sakitnya
namun semakin aku pergi
semakin sering kau datang
menjelma syair-syair tua
yang minta dibacakan
 
kini kepergianku
adalah kedatanganmu
kemudian kita sama-sama pergi
untuk kemudian datang
sebagai peristiwa yang terlupakan
 
pincuk, 2016
 
 
 
Mari Berpesta
 
mari berpesta
angkat gelasnya
gelengkan kepala
satukan hati kepada selainnya
 
puisi-puisi telah lama 
membeku dijantungku
kata-kata berkeliaran
mencari tuan 
yang hilang ditelan malam
 
malam memang kejam
waktu itu kulihat malam menjatuhkan air mata 
seorang perempuan tua
tepat di terotoar kota
entah salah apa perempuan tua itu
hingga air matanya membuat
bumi tertegun
dan aku yang mabuk 
dari segala bentuk
hanya bisa mengutuk 
pada malam yang mulai suntuk
 
pincuk, 2016 
 
 
 
Alunk Estohank, lahir di Sumenep 19 mei 1991, Karyanya berupa esai dan puisi di muat di berbagai madia lokal dan nasional, seperti: Republika, Sindo, Pikiran Rakyat, Lampung Pos, Riau Pos, Minggu Pagi dll. Sekarang menjadi mengelola taman baca Settong Dhere dan menetap di Yogyakarta. 
 

Terkini