Perpisahan
Datang ke kotamu,
kulihat warna warna bersemayam rapi
meski masih banyak reruntuhan
fajar menyelinap manja
petak-petak kamar mengeriap sendu
ranjang-ranjang bisu dicampakkan bulan
Datang ke kotamu,
udara asin menyeretku kencang
malak senandungkan perih doa
di ujung usia
lalu ku berkayuh menelusuri sudut-sudutnya
tawa sinis menyepuh tanah bebatuan
bagai tempat pengasingan
kita sama sama terasing dari tanah dan langit
ada bau menyengat tajam dari tungkumu
ya.
aroma sinis terhadap kematian
Katamu, "Jika saja boleh aku tak pulang"
pulang ke tanah tua hanya mengirim pesakitan bagi yang ditinggalkan
kafan akan membentangkan perpisahan air, api dan tanah
entah kapan tiba.
Bagimu perpisahan selalu bersekutu dengan air mata
Karat telah lama menyembur dari pelabuhan cinta
sauh terseret mengerat segala rasa dihunjamkan
rasaku dan rasamu makin melata
terbenam dalam kotamu yang nanar
(Rabu, 6 Mei 2015)
Kepala
Apa yang selama ini kau simpan, kepalaku?
Duka atau barisan masa lalu
Nyanyian masa kecil atau suara-suara malam
berdenyar dalam neuron neuronmu
Tak usah kau tulis lorong-lorong gelap di sekujur derai rambut
ingatlah satu hal mengenai pilihan
pilihan akan kematian atau keindahan
Kepalaku, mengapa tak kau ingat lagi Nandaka Harana atau Pupuh Durma
yang sering dilagukan ayah menghantar tidur
Durma sendiri tlah memukat warna warna di biduk sepi
Tak ada pelukan hanya memandang bayang di sungai sunyi
Sungai sunyi menyuguhkan reranting agonia yang membeku
di pelupuk pagi
Kepalaku, kendalikan dirimu
Jangan biarkan dingin mengirim gigilnya pada gemeretak sajak
Jangan biarkan sajak tercemar luka maupun cemas
biarkan ia bebas memilih
meski menjadi Durma bukan pilihan
setidaknya waktu yang bijak akan menumbuhkan
jalan jalan terang di tiap sel kotamu
Kepalaku, mari pulang ke puncak semadi
tempat segala rasa diruahkan
tempat segala kata dikucurkan
bilik segala warna
(Tuka, November 2015)
Celengan Tanah
Di sini
Dalam tubuh celengan tanah terukir senyum ibu
Kepalanya bercorak sepasang mata bapak bersinar
Dipenuhi aksara pagi berembus sejuk sekaligus haru
Aku pernah terlelap dan mati
Putus... tali rindu tiada mimpi
Angin mencatat deritaku
Nasi aking tegak menulis nasibku
lalu,
sang waktu yang bijak itu menjanjikan padaku tanah langit terbuka
mana janji itu?
Hingga suatu malam ibu membawakanku celengan tanah
Ia petik dari barisan doa-doa, dari onggokan sampah yang terkumpul
Sejak itu kesunyian yang pernah melahap tubuhku
Menjelma sinar mentari
menghapus gerbang senyap dalam mataku
Celengan tanah kusunting,
Menjadi mempelai yang setia mencatat waktu dan perjuangan
Bulir-bulir air mata pun ia tulis dalam keheningan
Ia setia menyaksikan seorang anak berjuang mengubah nasib
melayari jalan-jalan tak terpetakan
Aku berdiri di sini
menuntaskan janji mengibarkan panji
Seorang anak pemulung yang meraih impian
Ya. celengan tanah.
Kesetiaan dan pengorbanan telah lahir darinya
Semangat merengat di tiap puingnya
Renjana menjelma lencana
Aku pernah lelah menelaah kelahiranku
Aku pernah mati, hilang tiada mimpi
Entah dengan apa ku sandingkan belantaraku kini
Celengan tanah ibu
telah membentangkan cakrawala
menyusupkan roh pagi pada tulang-tulang rusuk
langit dan tanah telah terbuka bagiku
Tabungan kesetiaannya mengukur waktu menjadi kesabaran
Aku pun khusuk mengumpulkan rupiah
memazmurkan harapan
Di sini. dalam tubuh celengan tanah terukir senyum ibu
Kepalanya bercorak sepasang mata bapak bersinar
Dipenuhi aksara pagi berembus sejuk sekaligus haru
Aku kini hidup
Tali rindu penuh mimpi
Merajut bintang-bintang yang tak pernah berkhianat pada malam
Tanpa meributkan masa lalu
(Tuban, Juli 2015)
