Nyanyian Kaum Nestapa
Hangatkanlah jiwa-jiwa hampa milik mereka
Bukan dalam janji dusta atau ocehan belaka
Mereka senantiasa meronta sanubarinya
Tak tahu hendak dipecahkan ke mana
Mereka percaya Tuhan, tak secuil pun mereka
Ragu akan hal itu, tentang kekuasaan-Nya
Hanya saja mereka tak sanggup berpangku
Tangan dan mendongak ke atas selalu
Menatap langit yang kosong, tanpa awan
Begitu perut kering mereka, tanpa gizi
Menahan agar tak sampai melanggar batas
Dengan senantiasa bermimpi atau berdoa
Mereka percaya Tuhan, bahkan lebih percaya
Dari kita yang baru saja memetakan semesta
Namun mereka tetap setia menguras keringat
Dari dalam raga, dan dari palung sanubari
Maka, hangatkanlah jiwa-jiwa hampa milik mereka
Jiwa yang tak pernah alpa melafaz Tuhannya
Jiwa yang senantiasa menganga luka
Sharly Aydén
bias yang mematul bayangan kita
menerawang masa akan datang
cahaya dengan laju sekejab mata
menerobos rongga-rongga di mana
keresahan memamah-biak gelisah
“kita lahir dari mimpi, karena itu kita ilusi.”
walau kita membias kegelapan, dengan
sebelanga airmata yang disulut, dengan
seribu lafaz doa pengharapan kita
yang sirna telah pergi, dan tak ‘kan kembali
mulai kini, baik kita membias mimpi
agar kelak kita membakar segala ilusi
yang menikam di palung sanubari
Mulut Husréllza
di dalam mulutmu aku mengecup aroma strawberry
riak-riak mimpi, kata-kata ilusi rancak menari, mengolah rasa!
gelora tak tersentuh oleh dongeng pengantar tidur,
tak tersentuh temali yang mengerat
ruh dan tubuh berpadu dalam igau jemarimu,
jemari kelabu dengan kuku secercah matahari
menghangatkan luka bagi hidup: tak sejati
di dalam mulutmu aku berdiang memamah-biak sepi,
menikamnya kembali dalam liang mulutmu
Belläfrie Vadhnazen
aku tak yakin jiwaku mampu berlari menepuh hingga purnama sepuh
antara batas aroma surga dengan kecantikan yang ranum itu
melarutkan cita rasa terbuai makna ketika aku menyambut mimpi-mimpi.
aku yakin tak akan ada selubung yang menutupi garis-garis arsir senyummu
begitu persis senyum ibuku, yang berlalu menatap kelabu dalam genggam
asa remuk ditangannya, menempatkan aku pada seribu bayang, pada seribu angan
antara batas aroma surga dan kecantikan yang ranum itu, aku terkesima
menatap anganku kembali tersimpul, melarut sinar gemintang padaku
ya, selamanya bintang itu dirimu, selalu.
