Libatkan TNI Soal Pangan, Pemerintah Kena Kritik

Libatkan TNI Soal Pangan, Pemerintah Kena Kritik
TB Hasanuddin/rmol.co

PEKANBARU - Kebijakan pemerintah yang melibatkan TNI dalam persoalan pangan mendapat kritik dari Wakil Ketua Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin. Menurut dia, TNI lebih baik diberdayakan untuk mencegah konflik antar kelompok yang mengancam keutuhan NKRI.

Menurut Politikus PDIP ini, keterlibatan TNI dalam mengatasi konflik sesuai aturan perundang undangan yaitu pasal 7 UU No 34 tahun 2004. Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah negara dan melindungi segenap bangsa dari ancaman dan gangguan.

"TNI punya kemampuan yang handal dalam bidang teritorial, aparat Babinsa adalah mata dan telinga di desa desa. TNI harus turun dalam upaya mencegah konflik. Dari pada TNI diperintahkan masuk ke pasar untuk mengecek harga bawang, minyak dan ayam potong tanpa dasar hukum yang jelas," kata TB Hasanuddin dalam pesan singkatnya, Jakarta seperti dilansir merdeka.com, Senin (8/2/2016).

TB Hasanuddin mencontohkan, insiden intoleransi seperti di Cikeusik Banten, konflik Tolikara di Papua, konflik Singkil di Aceh dan insiden eks Gafatar di Mempawah Kalbar. Selain itu, kata dia, konflik yang terjadi di wilayah Timur Tengah juga sangat berpengaruh terhadap peta konflik di Indonesia.

"Teroris misalnya yang terjadi di Indonesia, diprediksi ada hubungannya dengan ISIS," ucapnya.

Oleh karena itu, tegas TB Hasanuddin, intelijen harus bisa mengendus kemungkinan konflik intoleran yang dapat membahayakan keutuhan NKRI. Sehingga, sekarang sudah saatnya pemerintah turun tangan lebih serius dan menggalang seluruh unsur kekuatan. Terlebih merangkul pemuka agama dan tokoh masyarakat anti kekerasan.

Aparat kepolisian harus tegas menegakkan hukum dan tak segan terhadap pelaku kekerasan apapun alasannya. TB Hasanuddin mengusulkan revisi PP No 2 tahun 2015 tentang pengerahan kekuatan TNI dilaksanakan setelah penetapan status konflik oleh kepala daerah.

"Ayat ini harus diubah, karena tidak efektif. Nyatanya pemerintah daerah kebanyakan tidak mampu mencegah konflik. Seharusnya beri kesempatan TNI masuk sebelum konflik, untuk menggalang kelompok yang akan berkonflik," jelas TB Hasanuddin.

Berdasarkan pengamatan praktis perkembangan peta konflik di Indonesia dan membaca hasil penelitian PUSAD (Pusat Studi Agama dan Demokrasi) Paramadina. Insiden kekerasan di Indonesia sejak 1990 hingga 2008 tercatat sebanyak 274 kasus. Urutan pertama, masyarakat sebagai pelaku kekerasan agama (47,8 persen), sementara pelaku kekerasan dari kelompok agama menempati urutan kedua (10,6 persen), sisanya berupa kasus-kasus lain.*


Berita Lainnya

Index
Galeri