Seks Murah Jadi Penyebab Jumlah Pria Lajang Meningkat

Seks Murah Jadi Penyebab Jumlah Pria Lajang Meningkat
Ilustrasi.

JAKARTA - Seks murah disalahkan sebagai penyebab turunnya angka pernikahan pada pria usia 25-34 tahun. Begitu disebutkan sosiolog Mark Regnerus dalam bukunya Cheap Sex: Man Transformation, Marriagge, and Monogamy yang diterbitkan Oxford University Press.

Dituliskan bahwa persentase masyarakat Amerika berusia 25-34 tahun yang menikah turun 13 poin dari tahun 2000 sampai 2014. Regnerus menyalahkan "seks murah" sebagai andil turunnya angka pernikahan ini.

Seks murah adalah istilah ekonomi yang dimaksudkan untuk menggambarkan seks yang memiliki biaya sangat kecil dalam hal waktu atau investasi emosional, sehingga memberi sedikit nilai.

Regnerus mendasarkan gagasannya, sebagian, pada karya ahli teori sosial Inggris Anthony Giddens, yang berpendapat bahwa pililhan tersebut mengisolasi seks dari perkawinan dan keinginan berkeluaga. Tambahkan pornografi online dan situs kencan, maka Anda bahkan tidak memerlukan hubungan (atau komitmen jangka panjang).

Di generasi lampau, wanita umumnya membuat pria menunggu sampai menikah untuk berhubungan seks. Untuk mendapatkan istri (dan seks), pria harus bersih dan rapi dan memiliki pekerjaan yang bagus. Ini, alasan Regnerus, memberi pria semua motivasi yang mereka butuhkan untuk menjadi anggota masyarakat yang terhormat.

Kini dengan konten porno sesuai permintaan dan kebebasan reproduksi yang lebih besar, seks merupakan komoditas yang tersedia setiap saat. Hal ini telah membuat pria memiliki sedikit motivasi untuk menikah, tulis Regnerus, yang mengutip prediksi demografer Steven Ruggles bahwa satu dari setiap tiga orang berusia 20-an tidak akan pernah menikah.

Regnerus menyalahkan seks murah karena menurunnya tingkat pendidikan dan tingkat pekerjaan di kalangan pria, sedangkan wanita lebih banyak mendapatkan gelar sarjana dan memasuki angkatan kerja. Di USA, Wanita yang memiliki gelar sarjana lebih tinggi enam persen daripada pria berusia 25-34 tahun di level yang sama.

Regnerus mendukung teori ini dengan kutipan dari psikolog sosial Roy Baumeister dan Kathleen Vohs, yang mempelajari fenomena ini. "Saat ini, pria muda dapat melewati jalan memutar untuk mendapatkan prospek pendidikan dan karier agar memenuhi syarat untuk mendapatkan seks," tulis mereka. "Seks menjadi bebas dan mudah. Ini adalah versi sekarang dari opiat massa (pria). "

Regnerus berpendapat bahwa sementara wanita mempertahankan peran mereka sebagai penjaga hubungan seksual, pria mengendalikan pasar pernikahan. Dan mengingat kemudahan akses terhadap seks, Regnerus percaya bahwa motivasi laki-laki untuk menikah bisa sama sekali hilang.

Dia mensurvei 15.000 orang responden yang belum menikah berusia di bawah 40 tahun dan menemukan rasio dari setiap 100 wanita yang mengatakan ingin menikah, hanya 82 pria yang berpikiran sama. 

Rasio ini, menurutnya, menjaga kekuatan hubungan tertinggi di tangan laki-laki. Bagi banyak wanita, tampaknya pria memiliki rasa takut akan komitmen. Tapi rata-rata pria tidak takut akan komitmen, tulis Regnerus.

Pria menjadi pengendali dalam pasar perkawinan dan diposisikan secara optimal untuk menavigasinya dengan cara yang mengutamakan kepentingan dan preferensi seksual mereka.  Pada gilirannya, ini menyebabkan wanita terus melajang, memasuki pernikahan yang hancur atau pernikahan yang tidak memuaskan.

Sementara itu, sebuah studi tahun 1992 menemukan bahwa 29 persen pria (dan 9 persen wanita) melakukan masturbasi setidaknya seminggu sekali. Pada 2014, 49 persen pria (dan 32 persen wanita) mengaku melakukan hal itu setidaknya sekali dalam enam hari. Tidak mengherankan, "karena frekuensi pornografi meningkat, begitu pula masturbasi."

Regnerus menyimpulkan, selama seks sangat rendah biayanya bagi pria, wanita heteroseksual akan mengalami kesulitan untuk menemukan pasangan yang layak untuk menikah.

Sumber: Tabloid Bintang


Berita Lainnya

Index
Galeri