JMGR: Segera Cabut HTI di Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil Bergambut

JMGR: Segera Cabut HTI di Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil Bergambut
Foto perkebunan kelapa masyarakat yang diserang hama Kumbang di Pulau Padang. (foto: dok. JMGR)

PEKANBARU - Peraturan Pemerintah (PP) 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut telah mengatur tata laksana gambut, kriteria kerusakan gambut dan membagi fungsi gambut menjadi dua, fungsi lindung dan budidaya.

Di Riau, mayoritas areal konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) berada di kesatuan hidrologis gambut (KHG) yang merupakan fungsi lindung, khususnya izin HTI yang berada di wilayah pesisir dan pulau kecil bergambut dengan kedalaman lebih dari 3 (tiga) meter. Penguasaan izin HTI di Riau di dominasi dua grup besar yaitu: APRIL (Asia Pacific Resources International Holdings Limited) dan APP (Asia Pulp and Paper).

Keberadaan izin-izin oprasional HTI di gambut dengan fungsi lindung tersebut selain bertentangan dengan regulasi pemerintah juga menjadi malapetaka yang menyuramkan kehidupan masyarakat gambut saat ini dan dimasa mendatang.

Bergantinya hutan dan lahan gambut menjadi komoditi tunggal berupa tanaman Akasia (Acacia Crassicarpa) menggerus sumber kehidupan masyarakat berupa hutan, sungai dan tata kelola masyarakat yang berupa pertanian dan perkebunan, selain itu juga berimplikasi terhadap bencana banjir dan kebakaran yang massif.

Isnadi Esman, Sekretrais Jendral (Sekjen) Organisasi Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) dalam rilis yang diterima Riaurelita.com, Senin, 9 Oktober 2017, menyebutkan izin-izin HTI di wilayah pesisir, pulau kecil dan bergambut berada di Semenanjung Kampar dan Kerumutan di Kab. Pelalawan dan Kab. Siak, Pulau Rupat, Pulau Bengkalis di Kab. Bengkalis, Pulau Tebing Tinggi, Pulau Rangsang dan Pulau Padang di Kab. Kepulauan Meranti, sejak terbitnya izin-izin HTI di wilayah tersebut perekonomian masyarakat turun drastis.

"Sudah sangat sulit bagi masyarakat untuk mendapatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti madu, rotan,hewan buruan, damar, ikan serta tanaman obat yang sebelumnya menjadi sumber kehidupan masyarakat selain bertani dan berkebun. Dan dampak yang paling menyengsarakan adalah konflik tanah dan sosial yang terjadi di masyarakat, putusnya kearifan lokal dan budaya masyarakat gambut,” tuturnya.

Contoh kongkrit, kata dia, misalnya di Pulau Padang, catatan sejarah masyarakat Pulau Padang sejak tahun 1916 telah bermukim dan memanfaatkan hutan dan lahan gambut secara arif dan lestari dengan menanam sagu sebagai komoditi ungulan, tidak ada drainase/kanal lebar yang di bangun, perpaduan budaya dan suku yang terbangun secara harmonis.

"Suku melayu dominan mengelola wilayah pesisir dan suku jawa dominan di darat, menukar hasil nelayan dengan hasil pertanian di lahan gambut menjadi hal yang biasa yang menjembatani interaksi sosial, itu juga merupakan sistem ekonomi yang selaras dengan budaya dan kerjasama yang terbangun bagi masyarakat Pulau Padang, silang sengketa yang pernah terjadi hanya berupa hal-hal normative dan dapat dengan mudah diselesaikan oleh tokoh agama dan tokoh kesukuan,” paparnya.

Tapi kini, lanjut Isnadi, izin oprasional PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) yang berupa Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dengan komoditi tanaman akasia SK No. 327/Menhut-II/2009 yang diaddendum pada tahun 2013 dengan No. 180/Menhut-II/2013 mengerus kehidupan masyarakat Pulau Padang dan memudarkan budaya serta memicu konflik tenurial dan sosial di masyarakat.

"Dulu, masyarakat selain mengambil hasil hutan sebagai sumber kehidupan yang disediakan alam, masyarakat juga memiliki tata kelola ekonomi yang tersistem dan lestari, misalnya saja: Masyarakat menanam karet di sekitar permukiman, hasil karet yang di sadap atau di 'toreh' menjadi sumber penghasilan setiap hari yang digunakan untuk kebutuhan kosumsi sehari-hari, kemudian masyarakat juga menanam kelapa yang berdampingan dengan tanaman karet," terang Isnadi.

Isnadi menjelaskan, hasil dari perkebunan kelapa yang di panen setiap 2 (dua) minggu atau satu bulan itu dapat memenuhi kebutuhan sekolah anak, sumbangan desa, sumbangan sarana ibadah dan kebutuhan yang sifatnya tidak rutin seperti sumbangan acara-acara pernikahan atau kegiatan desa.

"Sedangkan tanaman sagu yang dominan tumbuh maupun dibudidayakan di sepanjang sungai, wilayah pesisir dan tanaman sela di hutan menjadi penghasilan tahunan yang menjadi tabungan untuk bisa digunkan sebagai kebutuhan seperti melaksanakan ibadah haji, kebutuhan hari besar keagamaan, kebutuhan pesta pernikahan anak dan untuk membangun tempat tinggal,” bebernya.

Dari situ, lanjut dia, dapat dianalisa bahwa sistem tata kelola gambut yang arif dan lestari mampu memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, membangun budaya dan kebersamaan serta membangun infrastruktur di desa.

“Saat ini, 90% tanaman kelapa masyarakat di Pulau Padang mati diserang hama kumbang yang berasal dari areal konsesi PT. RAPP, begitu juga dengan tanaman sagu. Karet sudah tidak lagi produktif sebagai mana dulu akibat penurunan permukaan gambut yang terus terjadi akibat habisnya tutupan hutan dan adannya kanal-kanal/drainasse besar yang dibangun di areal konsesi," papar Isnadi.

Dari riset pengukuran kedalaman gambut dan penurunan permukaan tanah (subsidensi) yang dilakukan oleh JMGR bersama satu perguruan tinggi di Riau menemukan kedalaman gambut di Pulau Padang 4-12 meter baik di areal permukiman maupun di dalam izin konsesi HTI, subsidensi terjadi 9-10 cm/tahun, hal ini mengancam keberlangsungan kehidupan masyarakat dan juga ekosistem gambut secara keseluruhan yang ada di Pulau Padang.

"Adanya peraturan pemerintah tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut, kondisi eksisting pulau padang, konflik tanah dan sosial serta arogansi PT. RAPP ketika menghadang Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) tahun lalu, dan hasil pemetaan Lidar serta kajian dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah sangat menjadi alas an yang cukup kuat untuk segera mencabut izin HTI PT. RAPP di Pulau Padang," tegasnya.

Dia mengungkapkan, pencabutan HTI PT. Lestari Unggul Makmur di Pulau Tebing Tinggi menjadi contoh baik oleh pemerintah untuk masyarakat, pemberian izin kelola berupa Perhutanan Sosial menjadi pilihan bijak untuk diimplementasikan dan dipercepat pasca pencabutan izin HTI. 

"Tahun politik sudah menjelang tiba, jangan sampai isu-isu lingkungan dan konflik dijadikan menu jualan dalam kampanye kepentingan, cukup sudah derita masyarakat yang berada di wilayah pesisir pulau kecil dan bergambut. Lahirnya perizinan di wilayah tersebut yang merupakan 'dosa' rezim masa lalu jangan menjadi warisan untuk rezim sekarang yang tetap dipelihara untuk mematikan kehidupan masyarakat gambut. Pemerintahan Presiden Jokowi saat ini harus tegas dan berani terhadap izin-izin sektor kehutanan yang berdampak buruk terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat gambut," pungkas Isnadi. (rilis)


Berita Lainnya

Index
Galeri