Di Indonesia Dilarang, Mengapa Hizbut Tahrir di Inggris Malah Langgeng?

Di Indonesia Dilarang, Mengapa Hizbut Tahrir di Inggris Malah Langgeng?
Massa Hizbut Tahrir di Eropa (Foto: hizb-australia.org)

JAKARTA - Sorotan terhadap organisasi Hizbut Tahrir tidak hanya terjadi di Indonesia, yang akhirnya dibubarkan pemerintah karena dianggap tidak sesuai dengan dasar negara Pancasila. Di sejumlah negara lain, Hizbut Tahrir sebelumnya telah dilarang, seperti yang dilakukan beberapa negara di Timur Tengah.

Di Inggris pernah muncul wacana untuk melarangnya, tapi hingga 2017 keputusan pelarangan atas organisasi ini tak kunjung dikeluarkan secara resmi. Padahal, sejumlah pihak yakin Hizbut Tahrir "mempromosikan rasisme dan kekerasan", yang dibantah para pengurus atau pegiat Hizbut Tahrir.

"Tak satu pun anggota Hizbut Tahrir yang pernah diadili apalagi dinyatakan bersalah dalam kasus terorisme," kata anggota Hizbut Tahrir dan juru bicara organisasi ini di Australia, Uthman Badar, kepada koran Inggris The Guardian.

Usulan pertama pelarangan Hizbut Tahrir muncul setelah serangan teror di London pada Juli 2005, yang mendorong pemerintah pimpinan Perdana Menteri Tony Blair berencana melarang semua organisasi radikal. Pelarangan diurungkan karena pemerintah akhirnya menyimpulkan tidak ada dasar hukum yang kuat.

Pengamat Islam di Universitas Exeter, Dr Syahrul Hidayat mengatakan, dalam konteks ini pemerintah Inggris menghadapi dilema.

"Di Inggris ada prinsip bahwa pelarangan atas kelompok atau organisasi harus terkait dengan pelanggaran hukum. Di Inggris tidak ada bukti bahwa Hizbut Tahrir melanggar hukum," kata Syahrul kepada BBC Indonesia, Kamis (20/7/2017).

"Kalau soal ideologi, susah melarang ideologi karena itu bertentangan dengan prinsip kebebasan berpendapat atau kebebasan berkumpul," tambah dia.

Bisa makin berkembang

Alasan kemungkinan Hizbut Tahrir mendirikan kekhilafahan Islam juga kurang kuat untuk dijadikan alasan pelarangan. "Soal keinginan Hizbut Tahrir mendirikan kekhalifahan atau negara Islam, kalau memang dianggap tidak mungkin atau sangat kecil kemungkinannya terwujud di Inggris, lalu mengapa perlu dilarang?" lanjut Syahrul.

Upaya pelarangan kedua dilakukan pada 2009 ketika manifesto Partai Konservatif, yang ketika berstatus oposisi, menyebutkan pemerintah Konservatif akan melarang organisasi 'yang mempromosikan atau menyebar kebencian atau ideologi kekerasan di masyarakat seperti Hizbut Tahrir'. Partai Konservatif akhirnya berkuasa namun janji untuk membubarkan Hizbut Tahrir tak dilakukan.

Hal yang dilakukan PM David Cameron adalah melarang kegiatan kelompok ekstrem di perguruan tinggi dan melarang orang-orang yang berpandangan ekstrem untuk tampil di media.

Agaknya pemerintah memilih bersikap hati-hati menanggapi wacana pelarangan Hizbut Tahrir. Mungkin saja pemerintah Inggris tak ingin melihat organisasi ini bertambah besar setelah dilarang.

"Pelarangan akan membuat Hizbut Tahrir berkembang... pelarangan di sejumlah negara mereka anggap sebagai kehormatan, sebagai tanda legitimasi dan bukti ada yang khawatir dengan ideologi yang mereka usung," kata pengamat politik asal Australia, William Scates Frances.

Tak lagi berpengaruh

Faktor lain yang mungkin mendorong pemerintah Inggris membiarkan Hizbur Tahrir adalah analisis lembaga kajian Quilliam Foundation.

Lembaga yang banyak melakukan studi tentang radikalisme ini mengatakan pengaruh Hizbut Tahrir telah jauh menurun.

"(Pengaruh) Hizbut Tahrir telah jauh menurun, mereka tak lagi berpengaruh," kata juru bicara Quilliam Foundation kepada The Guardian.

"Konferensi tahunan Hizbut Tahrir beberapa waktu lalu di Tower Hamlet, London Timur, hanya dihadiri oleh sekitar 200 orang. Beberapa tahun lalu, konferensi seperti ini bisa dihadiri ribuan orang," katanya.

Pengamat Islam di Universitas Exeter Dr Syahrul Hidayat mengatakan visi mendirikan negara atau kekhalifahan berdasar sistem Islam 'tak dipandang menarik'.

"Kalau hanya mengandalkan ide, bagaimana mereka akan mendirikan negara berdasarkan sistem Islam, sementara mereka menolak berpartisipasi dalam sistem politik yang ada karena mereka anggap tidak Islami," kata Syahrul.

"Ini dianggap utopia dan tidak menarik bagi beberapa kalangan, terutama anak-anak muda. Bagi anak-anak muda, mereka akan jauh lebih tertarik dengan kelompok yang menawarkan langkah-langkah nyata untuk mewujudkan ide atau gagasan mereka. Dalam konteks ini Hizbut Tahrir kalah langkah," kata Syahrul. (Max/Kompas.com)


Berita Lainnya

Index
Galeri