Oleh: Boy Riza Utama*
SEORANG lelaki bermantel biru melintas ketika orang-orang berteduh di depan sebuah toko. Sejak siang, kota dikurung hujan. Tiba-tiba terdengar percakapan dari sepasang remaja yang ikut berteduh di sana. Si perempuan bilang kepada yang lelaki, "Harusnya kamu bawa mantel juga kayak bapak itu." Si lelaki, tanpa diduga oleh mereka yang berdiri di sekitarnya, berkata begini, "Seharusnya kamu enggak takut kehujanan dan malah senang. Kalau gitu, kita bisa pulang jadinya."
Sepasang remaja lain yang ada di antara mereka tiba-tiba pergi. Entah karena mendengar pernyataan yang barusan itu, tak ada yang benar-benar tahu. Mereka tak bermantel dan dengan semringah, si perempuan mendekatkan tubuhnya kepada lelaki di depannya yang mulai basah.
Hujan tetap tak mau berhenti hingga sekitar dua jam kemudian tinggal beberapa orang saja di depan toko itu. Magrib mulai merangkak. Seorang lelaki paruh baya yang selanjutnya menjadi orang terakhir yang berteduh di tempat itu, akhirnya, oleh si empunya dibuatkan kopi. Usai menyeruput singkat kopinya, ia berkata, "Sudah beberapa hari nggak enak badan. Jadi, takut kalau kehujanan."
Foto: hipwee.com
Musim yang berair tersebut di tahun itu memang cukup panjang dan toko yang menjadi latar cerita di atas ialah rumah seorang kenalan saya.
Ketika pria paruh baya itu pulang --saat langit tak lagi menjatuhkan rintik airnya-, kenalan itu bertanya kepada saya, "Mengapa orang takut kehujanan kalau akhirnya memang basah juga?"
Pertanyaan yang sarkastis itu tak saya jawab. Hanya tawa yang kemudian meledak di antara kami berdua. Sebab, yang ia bicarakan bukan perkara basah-jasmaniah belaka, melainkan soal basah-rohaniah -- basah di dalam.
Ada satu istilah soal itu; pluviophile. Maknanya, para pecinta hujan dan mereka yang merasakan kedamaian saat hujan tiba. Mungkin banyak yang terkena "sindrom" itu di sekitar kita, tetapi sangat sulit mengenalinya. Namun, saya punya kenangan tersendiri soal itu.
Meski pluviophile kerap diasosiasikan sebagai gejala psikologis yang kurang baik, tetapi atas nama cinta klaim itu tak akan mampu berbuat banyak. Seorang perempuan yang pernah saya pacari itu, misalnya, mencintai hujan bukan lantaran tak takut terkena ricik atau derau air itu, melainkan karena ingin berlama-lama berdua. Singkatnya, soal momentum.
Foto: jakfoto.net/Edwin Ngangi
Bertahun-tahun kemudian, ketika kisah di atas saya saksikan sendiri, ada makna yang saya tangkap begini: kita tak tak akan pernah takut kepada apa pun selama ada cinta di antara kehidupan. Memelintir kalimat Socrates, saya nyatakan: Cinta yang tidak dipertanyakan, tidak layak untuk diberi hujan."
Ya, memang segala yang bertaut dengan hujan selalu saja memancing libido kerinduan, bukan? Itu pula, kiranya, yang membuat kata-kata pada sebuah meme ini bermakna lebih: Gerimis ingat pacar, hujan ingat mantan, tsunami ingat Tuhan."
Terlebih lagi jika bicara soal bau tanah selepas hujan atau petrichor. Kata yang secara harfiah dalam bahasa Yunani itu berarti "batu" dan "darah para dewa", menjadi entri yang sering disebut dalam sebuah puisi. Ya, puisi, dan lagi-lagi itu tentang kenangan. Apa memang semua cerita tentang hujan selalu berpusar pada kenangan?
Tak ada yang peduli soal itu.
Ketika got mampat, jalan terendam, dan motor mogok hingga akhirnya mesti mendorong berdua --jika Anda bersama pasangan, tentu saja-, lagi-lagi hanya ada dua hal yang menyeruak di situ; kenangan dan momentum. Pertanyaan kemudian berbelok: "Hujankah yang menciptakan momentum dengan kehadirannya atau momentum yang menciptakan hujan, lalu kenangan?"
Tentu tak perlu pendalaman Filfasat atau rumus Fisika buat menjawabnya. Sebab, kita hanya perlu bertanya, terutama di bulan Ramadan begini: "Masih adakah momentum dari hujan yang bisa menjadi kenangan buat esok hari; cinta dan rahmat yang besar itu?"***
*) Pengepul tulisan di boyrizautama.tumblr.com. Bisa disapa di akun Facebook: Boy Riza Utama.