Mega Transfer Ternyata tak Perbaiki Wajah Sepak Bola Cina

Mega Transfer Ternyata tak Perbaiki Wajah Sepak Bola Cina
Striker Atletico Madrid, Jackson Martinez, berlabuh ke klub China, Guangzhou Evergrande.
JAKARTA - Mega transfer yang dilakukan klub asal Cina dengan membeli banyak pemain klub Eropa cukup membuat pamor mereka di mata dunia terangkat. Namun di dalam negeri, atmosfir Liga Super Cina ternyata tak semegah yang dibayangkan. 
 
Jurnalis laman The Sun, Justin Allen, yang langsung terbang ke Cina menuliskan bahwa Liga Super Cina penuh dengan kemalasan dan kecemburuan sosial antara pemain asing dan pemain lokal.
 
Dia menuliskan bahwa para pemain yang dibeli dari eropa tak memberikan dampak apa-apa selain mendongkrak nama klub dan Liga Super Cina di mata dunia. Contohnya penyerang Hulk yang kini membela Shanghai SIPG. 
 
Seorang guru asal Irlandia, Dave O'Reilly, yang kini bermukim di Shanghai kecewa dengan penampilan Hulk di klub itu. Menurut dia, pemain yang dibayar 320 ribu pound sterling per pekan itu tak memberikan banyak manfaat kepada klub.
 
"Saya pernah melihat permainan Hulk dan sekarang dia terlihat sangat gemuk, lelah dan tak fit. Dia hanya berjalan di lapangan, tak melakukan apa pun," ujarnya dalam wawancara dengan Justin usai laga Shanghai SIPG melawan Beijing Guoan yang berakhir imbang 2-2.
 
Peningkatan kualitas permainan seperti yang diharapkan klub Cina ketika memboyong para pemain dari klub Eropa tampaknya tak berhasil 100 persen. Buktinya, tak banyak penduduk Cina yang datang ke stadion untuk menyaksikan permainan sepak bola.
 
Berdasarkan data yang dia dapatkan, Justin menuliskan, setiap pertandingan kursi stadion hanya terisi sekitar 50 persen. Atmosfir dukungan penonton kepada klubnya pun terasa datar.
 
"Di Sanghai saja - Kota terbesar di Cina dengan populasi 24 juta penduduk - SIPG yang ditangani Sven Goran Eriksson hanya mampu menarik rata-rata 25.346 suporter per pertandingan. Artinya, Stadion mereka yang berkapasitas 56.842 tempat duduk 55 persen kosong," tulisnya.
 
Tak hanya itu, atmosfer kebersamaan di dalam tim di Cina juga tak terasa baik. Kecemburuan sosial terjadi di antara pemain lokal dengan pemain asing. Pemain lokal cemburu karena pemain asing mendapatkan gaji selangit yang besarannya mencapai 15 kali bayaran yang mereka dapatkan. 
 
Mereka juga cemburu karena banyak peraturan yang dengan seenaknya dilanggar oleh pemain asing dan pihak klub tak berbuat apa-apa. Misalnya soal aturan bermukim bersama di hotel satu hari sebelum pertandingan. Sejumlah pemain SIPG sempat menggerutu karena Sven Goran Errikson dan lima orang pemain asing mereka tak ikut bermukim di Regal International East Asia Hotel. 
 
"Sven dan para pemain asing lebih memilih tinggal di apartemen mewah mereka," ujar seorang pekerja di SIPG. "Hal ini mengecewakan bagi pemain Cina karena mereka berfikir kenapa ada peraturan yang berbeda terhadap mereka dan para pemain asing."
 
"Mereka juga kecewa karena mereka tak mendapatkan bayaran yang besaran nilainya sangat jauh dibawah para pemain asing. Pemain asing diperlakukan seperti raja," lanjutnya. 
 
Tak hanya pemain Cina yang menggerutu, para pemain asing di sana pun secara diam-diam membicarakan para pemain Cina. Mereka menilai para pemain Cina malas dan tak memiliki etos kerja yang baik. 
 
"Para pemain Cina malas. Mereka mau terkenal dan dibayar besar seperti pemain bintang tetapi tak mau bekerja keras. Itu sudah menjadi budaya mereka," ujar seorang pemain asing yang tak disebutkan namanya dalam laporan itu. 
 
Pemain belakang asal Inggris, Jack Sealy, yang memperkuat klub Changcun Yatai, mengatakan bahwa penduduk Cina sebenarnya sangat mencintai sepak bola. Namun, rendahnya kualitas permainan di klub Liga Super Cina membuat mereka malas untuk hadir di Stadion. Penduduk Cina lebih suka datang ke bar atau cafe untuk menonton Liga Primer Inggris bersama.
 
"Penduduk Cina sangat menyukai sepak bola tetapi permainan di sini tak cukup baik sehingga bisa membuat mereka datang ke Stadion," ujarnya. (max/tmp)
 


Berita Lainnya

Index
Galeri