Oleh: Boy Riza Utama*
"CINTA sejati itu seperti hantu," kata seorang bijak yang namanya tak pernah dicatat sejarah. "Sebab ia ada, tapi tak banyak yang menyaksikannya."
Mungkin karena "pasase" itu pula hampir setiap pasangan di dunia tiba-tiba menderita parafrénia. Meski tak banyak, tapi orang-orang yang jatuh dalam jerat "gangguan mental bertalian dengan paranoia yg tidak terlalu parah" itu selalu ada. Bahkan di antara kita. Singkatnya, karena gangguan psikologis itu, setiap pasangan jadi "serba-ingin". Bukan "butuh".
Padahal kita tahu, cinta melulu soal kebutuhan. Tanpa meniadakan "ketubuhan", penyatuan, kebutuhan memang lebih jernih: di dalamnya, keinginan, juga nafsu, takluk di hadapan harapan. Kecuali soal perulangan, pengulangan, "kebutuhan" jadi pusat dari kerja: ia harus ada setelah tenaga dikerahkan. Lalu ekspektasi, seliar apa pun ia, bakal tandas ketika kebutuhan itu terpenuhi.
Tapi paranoia juga penting; ia menjelaskan bahwa cinta, pada mulanya, juga dibangun oleh ketakutan-ketakutan. Atau dalam larik Chairil Anwar: "Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar."
Lalu kita ingat drama terkenal itu; Romeo dan Juliet. Shakespeare, sang penulis naskah fenomenal itu, meninggalkan warisan makna yang mungkin belum ada tandingannya: cinta, kiranya, juga dibangun dari pertentangan demi pertentangan, dari penentangan demi penentangan, selain penolakan.
Barangkali juga dramawan Inggris itu ingin menegaskan: cinta pun punya dialektika-nya sendiri. Meski tendensi-tendesinya mungkin juga tak banyak, tapi arasnya jelas: dari kesendirian ke kebersamaan, begitu sebaliknya. Siklus tersebut juga akan terus berputar hingga maut membuat kisah itu mulai pudar.
Tapi di situ pula (ke)setia(an) mulai menampakkan wujudnya: ketika yang dipisahkan maut tetap tak tercerabut cintanya. Dan kita ingat Edgar Allan Poe, juga sebaris kalimatnya: "Lord! Help my poor soul". Entah dengan dorongan apa ia mengucapkan kalimat itu, tapi yang jelas sastrawan Amerika itu setia, terutama pada dunia kepenulisan.