Memakmurkan Masjid, Bagaimana bagi Wanita?

Memakmurkan Masjid, Bagaimana bagi Wanita?
Ustazah Nella Lucky, S.Fil.I., M.Hum. (Foto: Istimewa)
Oleh: Ustazah Nella Lucky S.Fil.I.,M.Hum.
 
SALAH satu aktivitas yang paling Allah cintai adalah meramaikan masjid. Masjid adalah pusat pusar aktivitas umat Islam.
 
Namun, sedih dan duka mendalam menghadapi umat belakangan ini. Kita teringat dengan salah satu hadits Rasulullah yang mengatakan, "Salah satu ciri dan tanda hari kiamat adalah kosongnya masjid dan ramainya pasar-pasar." Ini sudah terjadi pada masyarakat kita.
 
Oh tidak, Ramadan ramai kok isi masjid?
 
Ya... 10 malam pertama ramai sampai ke teras-teras masjid, 10 malam kedua, ramai tetapi berkurang sedikitlah, 10 malam ketiga isi masjid mulai kosong. Kemana pengunjungnya??
 
Ohh... ibu-ibunya masak kue, remaja-remajinya ke Mall. Kenapa gak siang saja ke Mall? Panas nanti batal puasa. Kenapa tidak habis tarawih, nanti Mallnya tutup. Hingga jadwal tarawih digantikan dengan Mall menjelang lebaran.
 
Ah, sebagian kami kan wanita, tidak masalah kalau tidak ke Masjid. Bukankah Rasul menganjurkan wanita untuk Salat di rumah?
 
Memang, ada hadits yang mengatakan, "Lebih baik wanita salat di rumahnya, lebih baik dalam kamarnya, lebih baik dalam kamarnya yang kecil," dalam teks lain:
 
Dari Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Salat seorang wanita di rumahnya lebih utama daripada salat di kamar tamunya. Dan salat (seorang wanita) di makhda’-nya lebih utama daripada salat di rumahnya.” [Hadits Riwayat Abu Dawud, hadits nomor 566; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Misykatul-Mashabih halaman 184 - Maktabah al-Misykah].
 
Untuk memahami hadits ini terlebih dahulu kita bahas tentang apa golongan hadits.
 
Hadits terdiri dari dua:
 
Pertama, hadits yang tsawabit yakni hadits yang maknanya tidak dapat berubah ketika keadaan berubah. Sampai kapanpun hadist ini tidak akan bisa berubah sekalipun zaman berubah. 
 
Misalnya, salat lima waktu, tidak akan mungkin berubah hukumnya sekalipun zaman berubah sampai hari kiamat. Puasa Ramadan tidak akan berubah hukumnya sekalipun sampai hari kiamat. Aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan tidak mungkin berubah sampai hari kiamat dengan alasan cuaca atau alasan apapun
 
Lalu kedua, ada hadits yang mutaghayyir yakni hadits yang maknanya bisa berubah ketika zaman berubah. 
 
Kaidah ushul fiqh mengatakan:
 
"Berubah hukum ketika berubah tempat dan waktu."
 
Misalnya, dahulu wanita dianjurkan memakai baju hitam putih untuk membedakan wanita Muslim dan wanita Yahudi. Sekarang? Wanita diperbolehkan memakai baju beragam warna asal tidak mencolok. Dahulu zakat menggunakan kurma, sekarang zakat menggunakan beras. Dahulu perang menggnakan kuda, sekarang boleh menggunakan meriam dan semisalnya.
 
Dahulu setiap keluar rumah wanita harus menggunakan mahran suami. sekarang, selagi kepergian pada wilayah aman, wanita bisa pergi sendiri dan bekerja di kantor setiap harinya.
 
Demikian pula dengan hadits yang melarang wanita datang ke masjid adalah hadits yang mutaghayyir. 
 
Dengan pemahaman, dahulu keadaan tidak aman maka lebih baik wanita di rumah saja. Dahulu situasi berperang, kapan saja bisa nyawa melayang. Tetapi kini situasi aman maka lebih baik wanita ikut meramaikan masjid.
 
Pendapat ini diperkuat dengan ungkapan Aisyah. Aisyah radhiyallahu ‘anha juga berkata:
 
“Mereka wanita-wanita mukminah menghadiri salat Shubuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka berselimut dengan kain-kain mereka. Kemudian para wanita itu kembali ke rumah-rumah mereka seselesainya dari salat tanpa ada seorang pun yang mengenali mereka karena masih gelap.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 578 dan Muslim no. 645)
 
Meramaikan masjid bagi wanita Fardhu Kifayah sekalipun tidak Fardhu Ain. Tetapi juga tidak dilarang.
 
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menyatakan: “Telah berkata teman-teman kami bahwa hukum salat berjamaah bagi wanita tidaklah fardhu ‘ain tidak pula fardhu kifayah, akan tetapi hanya mustahab (sunnah) saja bagi mereka.” (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 4/188)
 
Artinya, tidak ada larangan tegas bagi wanita untuk meramaikan Masjid.
 
Wallahua'lam.
 


Berita Lainnya

Index
Galeri