Opini

Idul Fitri: Momentum Restorasi Diri

Idul Fitri: Momentum Restorasi Diri
M. Tazri (foto: istimewa)

Oleh: M. Tazri

 

Idul Fitri merupakan salah satu perayaan hari besar umat Islam. Idul Fitri dirayakan setelah menjalani aktifitas puasa sebulan penuh. Idul Fitri dimaknai sebagai hari kemenangan, kemenangan atas perjuangan melawan hawa (keinginan) nafsu (diri)

 

Dalam konsepsi Islam, Idul Gitri berarti kembali ke fitrah. Kembali ke fitrah bermakna  kembali suci, proses kembali bisa kita katakan sebagai sebuah proses restorasi. Ada banyak hal yag menjadi catatan dalam mencapai sebuah proses restorasi ini. 

 

Pertama, restorasi iman. Iman dimaksudkan sebagai suatu hal yang sangat fundamental dalam menjalani peran sebagai manusia yang bertuhan. Iman menjadi syarat mutlak dalam menjalin hubungan dengan sang Khalik. Hendaknya, momen Idul Fitri mampu mengembalikan dasar keimanan umat akan ketuhanan.

 

Kondisi iman yang terkadang naik dan turun menjadi hal yang wajar bagi hamba yang dikaruniai akal dan nafsu. Terkadang akal dan nafsu tidak berjalan seiringan, sehingga mengakibatkan iman menjadi tidak statis, kadang iman bertambah dan kadang iman bekurang. Kondisi ini bisa dilihat dari bagaimana tindakan seseorang dalam beribadah (hablum minalloh) dan bermasyarakat (hablum minannas).

 

Iman mampu menjadi tonggak dasar manusia, iman mengikat manusia dengan segenap aturan dan kaidah syariat yang dirasa mampu melindungi manusia dari potensi negatif dalam diri. Ini tentu akan menjadi benteng utama dalam menjalani hidup dan kehidupan, termasuk di dalamnya manusia sebagai elemen masyarakat dalam bernegara. Ketika iman telah kembali pada hakikat dasarnya, maka bangunan diri seseorang akan berdiri kokoh tanpa terkontaminasi oleh kepentingan apapun, baik itu yang berbau ekonomi maupun politik

 

Kedua, restorasi mental. Mental dimaknai sebagai ideologi dasar yang melekat dalam diri pribadi seseorang yang kemudian menjadi dasar berpikir. Mental memang menjadi permasalahan yang bisa dikategorikan besar di Indonesia. Bahkan presiden dalam nawacita nya menjadikan “revolusi mental” sebagai pekerjaan rumah pemerintah dalam setiap elemen. Indeks data tingkat kriminalitas Polri, data pelanggaran dari Komnas HAM dan juga data tindak perilaku korupsi di KPK menjadi bukti bagaimana mental masih menjadi musuh besar Indonesia. 

 

Masyarakat Indonesia memiliki potensi besar untuk berkembang, baik itu sumber daya alam (SDA) maupun sumber daya manusia (SDM) nya, hanya saja hingga saat ini belum maksimal. Masyarakat Indonesia masih digerogoti oleh mental yang jauh dari kata ideal, di antaranya ialah mental korupsi dan mental berketergantungan pada pihak asing masih lekat pada bangsa Indonesia.

 

Pasca Idul Fitri, kembali ke fitrah hendaknya mampu mengembalikan mental masyarakat Indonesia kepada mental yang jujur, berani, mandiri dan bertanggung jawab.

 

Ketiga, restorasi tindakan/sikap. Setelah pembenahan iman dan mental, restorasi hendaknya berlanjut dan diaktualisasikan dalam bentuk tindakan/sikap. Harus ada perubahan cara berpikir yang kemudian berlanjut pada cara bertindak. Tindakan setelah Idul Fitri haruslah penuh dengan kehati-hatian dan penuh pertimbangan, azas manfaat haruslah lebih dominan dari pada azas mudhorat. Hal inilah yang kemudian diharapkan muncul dalam proses restorasi pada tindakan/sikap pasca Idul Fitri.

 

Restorasi sesuai dengan makna Idul Fitri dan sejalan dengan cita-cita bangsa. Niat suci demi perbaikan bangsa haruslah dipupuk bersama dan dengan bekerjasama. Sehingga momen Idul Fitri sudah sepantasnya menjadi tolak ukur dalam proses restorasi (kembali ke fitrah). 

 

Taqobbalallohu minna wa minkum, Minal ‘aidin wal faizin.

 

 

 

Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Al Munawwarah Pekanbaru. Menyelesaikan Strata 1 Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan pernah menahkodai IKPMR Malang. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM).

 


Berita Lainnya

Index
Galeri