Oleh: Ustazah Nella Lucky, S.Fil.I., M.Hum.
LEBARAN itu telah datang. Entah mengapa semua orang berbahagia menyambutnya. Seluruh pusat perbelanjaan ramai, pusat keramaian penuh sesak. Kata mereka, kami ingin berbelanja baju lebaran.
Tidak peduli antrian panjang, tak juga peduli kemacetan, apalagi huru hara. Yang kami fikirkan saat ini bukanlah kesusahan-kesusahan itu, namun yang kami fikirkan adalah bagaimana agar kami bisa berbelanja sepatu baru, baju baru dan sendal baru sekaligus membelikan beberapa pakaian untuk orang tua kami. Kami katakan dalam hati, mereka pasti bahagia.
Kami pun bahagia karena dari kantor kami telah ada Tunjangan Hari Raya yang kami beri nama dengan THR. Mendapatkan itu serasa dunia kami lapang. Lalu kami bawa THR itu menemani kami berbelanja. Kami beli baju dan yang dapat menyengkan kami. Lalu kami rayakan lebaran dengan gempita.
Tetapi...
Ternyata ramainya lebaran hanya dua hari. Baju yang kami beli hanya dianggap baru dalam 2 hari. Sendal yang kami beli ternyata hanya kelihatan menarik dalam dua hari. Setelah itu, ia hanya akan menjadi baju biasa dan sendal biasa yang kami pakai sehari hari.
Lalu bagaimana THR kami? Ternyata ia tidak setia. Ia habis begitu saja. Ia hanya menemani kami sebelum lebaran dan hanya memberikan sedikit waktu setelah lebaran. Padahal kami mengira ia akan setia menemani kami. Ternyata? Ia hanya numpang lewat pada rekening-rekening kami.
Lalu sekarang?
Kebahagiaan telah sirna. Baju baru sudah tidak dianggap baru, sepatu baru yang kami kenakan tidak lagi dianggap baru. THR pun sudah pergi meninggalkan kami.
Oh Tuhan...
Kami sadar, sadar bahwa kami telah tidak amanah kepada harta yang engkau beri. Terkadang kami membeli apa yang kami inginkan dan bukan apa yang kami butuhkan.
Kami lupa bahwa kami hanya memerlukan baju baru dan sendal baru sesuai kebutuhan kami saja.
Kami lupa bahwa baju yang berlebihan tidak akan kami gunakan lagi setelah lebaran.
Kami lupa bahwa kami telah boros dan tidak amanah menggunakan hartamu.
Sehabis lebaran senyum kami tak lagi merekah, kebahagiaan semu yang kami bangun telah sirna. Rekening kami sudah tidak ada THR yang menemani.
Lalu hati kami berkata lagi, Ah... Tidak masalah... THR kan memang untuk dihabiskan. Benar, tetapi untuk dihabiskan sesuai kebutuhan.
Oh Tuhan, gegap gempita apakah ini?
Kami lebih mementingkan kulit dibanding isi.
Kami tau substansi dan inti lebaran adalah silaturrahmi, bermaaf-maafan, saling mengunjungi. Kami ganti substansi Idul Fitri dengan menampak-nampakkan pakaian kami. Memperlihatkan kemampuan kami, menghitung-hitung levelitas kami dan kami buang tujuan Idul Fitri yang sebenarnya.
Sementara itu, terkadang kami lupa bahwa masih banyak orang-orang yang belum mampu kami maafkan, belum tunduk hati kami meminta maaf, belum ikhlas bathin kami meridhakan kesalahan orang-orang yang pernah menyakiti kami.
Oh Tuhan kami lupakan substansi Idul Fitri.
Kami menyesal.
Dan kini kami berjanji akan memasuki Idul Fitri tanpa melupakan substansinya. Kami upayakan memaafkan kesalahan orang yang pernah menyakiti kami. Kami tundukkan bathin agar ikhlas meminta maaf dan kami ikhlaskan hati atas segala ucap dan sikap yang pernah menggelisahkan batin kami.
Selamat memasuki Idul Fitri.
Mohon maaf lahir dan bathin.