Opini

Buka Puasa Bersama: Tradisi atau Gengsi?

Buka Puasa Bersama: Tradisi atau Gengsi?
ilustrasi

Oleh: Dini Nastiti Wardani


RAMADAN secara hakikat adalah bulan yang penuh berkah dan maghfirah (ampunan). Bahkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan HR. Bukhari menyatakan bahwa pada bulan yang penuh berkah, rahmat dan ampunan ini, Allah akan membuka setiap pintu surga dan akan membelenggu setan. Lebih dari itu, Allah pun berjanji akan langsung membalas setiap amal ibadah di bulan puasa ini dengan limpahan rahmat dan hidayah-Nya.

Oleh karena itu, pada bulan yang suci ini, hendaknya kita umat muslim lebih banyak meningkatkan iman dan takwa seperti yang termaktub dalam QS. Al-Baqarah 183

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa”

Untuk itu, ada baiknya setiap insan yang telah menyatakan dirinya sebagai umat muslim bisa memahami seperti apa makna yang terkandung dalam QS. Al-Baqarah tersebut. Sejatinya, puasa tidak hanya sekadar menahan lapar dan dahaga saja tetapi ada perintah lain yang hendak ditujukan oleh Allah untuk menguji keimanan seseorang. Namun, seiring perkembangan zaman, perintah berpuasa ini hanya sekadar menjadi “tradisi” umat muslim. Sadar atau tidak, kita semua hanya terpaku pada perintah menahan haus dan lapar saja. Padahal sesungguhnya justru lebih daripada itu. Hemat saya, puasa adalah cara Allah mengajarkan kita hidup sederhana.

Sebagai contoh kecil, kita bisa merasakan derita dan musibah yang tengah dihadapi oleh saudara-saudara kita di negara konflik. Sebut saja Palestina yang tak kunjung usai dengan pertumpahan darah, juga Aleppo, kota terbesar kedua Suriah, setelah Damaskus, Ibukota Suriah, dengan penduduk berjumlah 2.130.000 jiwa ini setiap hari berjuang mempertaruhkan nyawanya.

Lalu,bagaimana mereka bisa menjalankan ibadah puasa dengan kondisi demikian?

Jangankan di bulan Ramadan, hari demi hari mereka kerap waswas terhadap tank-tank pembawa bom, pistol-pistol yang siap melesatkan tembakan dan juga tangan-tangan zalim yang haus akan kekuasaan. Korbannya, bukan orang dewasa saja, ada anak-anak yang masih di bawah umur setiap hari harus bertaruh nyawa. Nasib saudara muslim kita di sana tak ubahnya permainan dadu—maut mengintai setiap detiknya.

Kondisi tersebut sangat kontras jika dibandingkan dengan kondisi bangsa Indonesia yang aman, damai, tentram, sentosa. Bisa dikatakan Indonesia jauh dari konflik dan pertumpahan darah seperti saudara kita di sana. Hal ini, seharusnya bisa menjadi pemantik kita dalam meningkatkan rasa syukur, terutama di bulan suci ini.Akan tetapi, betapa ironisnya di negeriku merah putih ini, terutama umat muslim yang dikaruniai kesehatan jasmani dan rohani, puasanya malah “tergadai” atas nama pekerjaan. Akibatnya, tidak sedikit anak-anak muda melalaikan waktu beribadah (puasa) mereka dipinggir-pinggir jalan dengan hal-hal yang tidak berfaedah. Sementara itu, anak-anak kecil lebih memilih menghabiskan uang jajan mereka untuk membeli mercon atau petasan.

Syahdan, bagaimana dengan pelaksanakan ibadah puasa di Indonesia? Realitasnya, sebagian dari kita tidak jarang menggelar buka bersama di bulan yang penuh rahmat ini.

Pada dasarnya, tidak ada yang salah dengan momentum buka puasa bersama ini. Hanya saja, dalam menjalankan tradisi“Bukber” dengan berlindung di balik kata “mempererat tali silahturahmi”, sekaligus menggelar acara di sejumlah tempat yang “wow”, alangkah baiknya kita bertanya lagi kepada diri sendiri. Apakah Bukber benar-benar menjadi muara jalinan silahturahmi, atau  jangan-jangan telah jadi tradisi pamer gengsi?

Untuk itu, mari sama-sama kita membuka mata dan memasang telinga. Dapat kita saksikan bahwa tidak sedikit dari kita lebih memilih menggelar acara Bukber dari hotel ke hotel, dari resto ke resto atau dari kafe ke kafe. Pertanyaannya adalah mengapa kita tidak menggelar Bukber di pinggir jalan dengan makan nasi goreng yang harganya tidak lebih dari 20 ribu rupiah?Hemat saya, dari sana kita bisa menyisihkan sisa uang untuk diberikan kepada anak-anak yang kurang mampu, agar mereka dapat merasakan nikmatnya makanan yang kita makan atau untuk keperluan lainnya.

Kita ambil contoh sederhana. Banyak kita temui resto ternama yang berada di mall-mall maupun di tengah kota telah dipadati pengunjung saat waktu berbuka tiba. Tak jarang pengunjung berteduh atas nama “lapar” karena seharian puasa dan sibuk bekerja sehingga menimbulkankelalaian  menunaikan kewajiban ibadah salat magrib. Hal ini tentu berkenaan dengan waktu salat dan pesanan datang pada jam yang sama.

Syahdan, kebiasaan apa yang akan dilakukan selanjutnya?

Jangan heran jika saya dan pembaca kerap mendapati hasil foto Bukber yang telah diunggah ke berbagai akun media sosial di tempat-tempat mewah hanyauntuk memamerkan betapa mahalnya makanan yang dimakan. Padahal, jika kita mau sadar sedikit, berapapun uang yang kita keluarkan demi makanan mahal itu, toh pada akhirnya akan“keluar” di tempat pembuangan juga. Tidak ada bedanya dengan menu makanan yang kita konsumsi di rumah. Hal ini tentu bisa menjadi bahan renungan bersama. Apakah buka puasa bersama ini sebuah tradisi, ataukah hanya sekadar gengsi?

Nah, dengan melihat kondisi tersebut, agaknya sangat bertolak belakang dengan makna puasa yang sesungguhnya. Bahkan tidak jarang kita jumpai pernyataan “Puasa ini semakin membuat pengeluaran saya semakin membengkak” atau dapat kita temui “omelan” tak keruan karena pelayan resto tak kunjung mengantarkan makanan yang telah dipesan.


Jadi, di mana hakikat puasa sesungguhnya jika kita tidak bisa menahan amarah dan melawan hawa nafsu? Sekali lagi, mari kita kembalikan pertanyaan ini ke dalam diri masing-masing. Semoga saja, di saat bersenang-senang, kita tidak lupa dengan nasib saudara-saudara kita yang tengah kelaparan. Semoga kita tidak lupa dengan nasib saudara-saudara kita di pengungsian karena musibah dan bencana alam. Semoga kita juga tidak lupa, bahwa berapapun harta yang kita dapat, kelak akan menjadi tanggung jawab di alam akhirat nanti. Bagaimana cara kita mendapatkan uang, dan ke mana uang itu dibelanjakan. ***

 

Dini Nastiti Wardani, perempuan kelahiran Surabaya, 10 Oktober 1989. Anggota Aliansi Jurnalis Independen. Kini bekerja  sebagai editor Siaran RRI Surabaya dan Dosen tidak tetap di salah satu Perguruan Tinggi di Surabaya.
 


Berita Lainnya

Index
Galeri