Oleh: Muhammad Irsyad Al-djaelani
Jika ibadah rindu adalah doa.
Maka, biar cinta yang menjadi kiblatnya.
SEBUAH Hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Bukhari, dari Abu Hurairah R.A, Rasulullah S.A.W bersabda, “Seluruh amal anak Adam adalah untuknya sendiri, kecuali puasa. Sesungguhnya, puasa itu untuk-Ku dan Aku akan membalasnya.” Kata ‘Aku’ di sini yang disampaikan oleh Baginda Rasulullah SAW sendiri maksudnya adalah kata ganti untuk merujuk pada Allah Azza wa Jalla. Jadi, jika hadits ini disandingkan dengan kalimat yang saya tulis pada mukadimah di atas, sepertinya akan membangun sebuah makna yang saling berkesinambungan — yang tentu tidak eksplisit dan masih perlu penafsiran-penafsiran atasnya.
Seperti yang disabdakan Rasulullah S.A.W pada Hadits Qudsi di atas, Ibadah berpuasa adalah untuk Allah. Berbeda dengan beberapa ibadah wajib lainnya. Jadi, berpuasa itu laksana mengirimkan surat-surat cinta kepada Allah Azza wa Jalla. Seperti halnya menulis surat cinta kepada kekasih (yang dikasihi), kita butuh memilah-memilih kata agar huruf-huruf yang dirangkai mampu menghadirkan nyawa kerinduan itu sendiri. Proses menulis itulah yang disebut cinta. Cinta lebih mengacu kepada niat sedangkan rindu adalah perasaan yang dirasakan, dan kekasih adalah objeknya — dalam kasus ini. Rindu yang jatuh dengan perasaan cinta yang tulus kepada sang kekasih, akan membuat sang kekasih itu sendiri yang mengetahui (mempunyai balasan baik) terhadap apa yang telah sampai kepadanya.
Sebuah kejanggalan banyak kita temui pada usia dunia yang semakin tua sekarang ini. Sering, seorang manusia begitu loyal (berkorban sepenuhnya) menghabiskan waktu untuk seseorang yang dicintai atau kekasihnya sendiri. Ketika cintanya jatuh dalam kekagumannya terhadap seseorang, seringkali nasehat orang-orang di sekitarnya tidak didengar. Seperti dalam kasus melakukan hal-hal di luar dugaan untuk menarik perhatian sang pujaan hati. Tetapi, banyak orang di masa sekarang melupakan jalan paling romantis untuk menunjukkan perasaannya terhadap orang yang dikasihinya; berkirim surat. Di zaman serba digital seperti sekarang ini, sangatlah wajar kita temui banyak pemuda yang tak kenal dengan cara seperti itu. Akan tetapi, jika si pemilik hati menginginkan cara seperti itu (berkirim surat), tak ayal si pejuang cinta barang tentu pasti akan melakukannya. Meski pun menulis bukan keahliannya, bisa kita pastikan (dalam konteks rasional) dia akan berusaha mencari susunan kata terbaik untuk menjadi kalimat indah agar si pemilik hati tersentuh saat membacanya. Inilah yang saya maksud dengan melakukan hal-hal yang di luar dugaan (kebiasaan).
Agaknya, kita perlu mengaminkan apa yang pernah diucapkan oleh Sujiwo Tejo — seorang seniman, budayawan, dalang, musikus, bahkan penulis ini. Tokoh yang lebih dikenal di sosial media sebagai Presiden Jancukers ini pernah mengatakan: “Tahukah kau pekerjaan paling sia-sia di muka bumi? Yaitu, memberi nasehat kepada orang yang jatuh cinta.”
Tak ada yang salah dengan cara seperti itu. Tetapi, alangkah baiknya kita tidak selalu buta dengan hal-hal yang tampak, hal-hal yang mengacu kepada keindahan mata memandang. Sehingga terlupa untuk menunaikan cinta secara habis-habisan kepada hal-hal yang tak tampak, anugerah yang dirasakan, akal yang diberikan, ruang, ataupun waktu. Karena sesungguhnya, di situlah kehadiran Allah Azza wa Jalla mampu kita rasakan manifestasi-Nya. Bagaimana jika sikap mencintai itu mampu diimplementasikan ke arah-Nya. Bertindak sebagai sufi yang zuhud (dalam konteks merasakan cinta terhadap-Nya) dan wahdatul wujud (tidak pun dalam hal yang bersifat dzikir atau renungan) dalam setiap tindak-laku.
Dalam ibadah Puasa, kita analogikakan menulis itu adalah puasa, dan proses memilih-memilah kata adalah menahan makan-minum dan juga hawa nafsu (keinginan, atau semacam hasrat yang dimiliki oleh manusia — yang lebih cenderung bersifat emosional) lainnya. Dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari kala senja, kita menahan lapar-dahaga dan hawa nafsu tanpa menganggu proses aktifitas duniawi.
***
Merujuk kepada dakwah Candra Malik — seorang sufi yang juga sastrawan, musikus, dan budayawan itu pada sebuah kesempatan tausiyahnya pernah mengtaakan, Muhammad S.A.W pernah ditanya oleh Malaikat Jibril, “Wahai Muhammad apa itu ihsan?”, Muhammad S.A.W menjawab: “Ihsan adalah beribadah dengan keyakinan penuh seolah-olah melihat Allah. Dan jika tidak bisa berseolah-olah itu, maka yakinlah Allah Maha Melihat.”
Ya, yakinlah Allah melihat setiap gerak kecil yang kita lakukan dalam ibadah berpuasa. Menahan lapar-dahaga serta hawa nafsu semata hanya untuk-Nya. Kemudian Allah akan membalasnya dengan rahasia. Sebab, Ibnu Abdul Bar berkata, “Cukuplah ungkapan ‘Puasa untuk-Ku’ menunjukkan keutamaannya dibandingkan ibadah-ibadah lainnya. Diriwayatkan pula oleh An-Nasa’i, 2220 dari Abu Umamah r.a berkata, Rasulullah S.A.W bersabda, “Hendaklah kalian berpuasa, karena tidak ada yang menyamainya.” (Dishahihkan oleh Al-Albany dalam shahih Nasai). Hal ini juga bisa kita rujuk dalam QS. Az-Zumar: 10, Allah Azza wa Jalla berfirman “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” Kata ‘bersabar’ di sini adalah kajian yang harus kita bongkar lebih dalam makrifatnya karena bersinergi dengan apa yang menjadikan ibadah puasa itu sendiri sempurna. Mengutip kembali kalimat bijak dari Candra Malik, “Jika kesabaran ada batasnya, maka kesetiaan adalah garisnya.” Candra Malik seolah mengungkapkan bahwa kesetiaan adalah rumah bagi kesabaran. Dengan kesaksian syahadat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, digerakkan oleh rindu yang menggebu, semoga kesetiaan selalu menjaga jalan kepada-Nya.
Maka, menurut hemat saya, seharusnya tidak perlu ribut mempermasalahkan apa yang selama ini menjadi perkara umum di bulan suci Ramadan; aktifitas menutup paksa rumah makan, razia, sikap ingin dihormati, dan hal-hal lainnya yang merusak kaidah puasa itu sendiri. Alangkah baiknya di bulan suci Ramadan kita hidup akur, rukun, dan damai. Tidak memaksa kehendak antara satu sama lain. Sebab di dalam sebuah Hadits Qudsi, dari Abu Hurairah RA, Rasulullah S.A.W bersabda, ‘Puasa itu perisai. Jika sedang berpuasa, jangan kalian mengucapkan kata-kata kotor dan jangan pula berbuat bodoh.”
Masih dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari di atas, diserukan, “Jika ada yang mencela dan menganggu, ucapkan: saya sedang berpuasa.” Dan kembali Candra Malik dalam sebuah essainya di sebuah surat kabar lokal pernah menelaah hadits ini lebih detail. Kalimatnya sungguh jelas, yaitu: “saya sedang berpuasa.” Tidak perlu ditambahkan lagi menjadi kalimat baru menjadi: “hormati saya sedang berpuasa.” Sebab, puasa bukanlah untuk mencari penghormatan dari sesama manusia. Begitu kutipannya. Toh ini adalah persembahan rasa cinta kita kepada Allah Azza wa Jalla melalui ibadah fardhu dan juga hubungan antar sesama manusia (manifestasi-Nya).
Dan jika segalanya telah berjalan atas nama cinta, tentu ketersadaran atas situasi akan lahir dari kaum yang tidak berpuasa. Dan jika segalanya pun dilakukan atas kecintaan kepada sang Khalik, tentu apapun yang menjadi aral-melintangnya tidak akan menjadi masalah lagi bagi umat yang melaksanakan ibadah puasa itu sendiri (kembali ke konteks bagaimana kita berjuang untuk orang yang kita cintai). Tidak ada pengharapan untuk diperlakukan lebih baik dari yang lainnya, tidak ada keinginan agar selalu dihormati. Sebab, tak pernah ada alasan untuk cinta.
Maka dari itu, tulislah surat-surat cintamu kepada sang Khalik dengan tata bahasa yang indah. Tulislah di dalamnya ungkapan-ungkapan rindu dan cinta dengan tutur kata terbaik yang bisa engkau sebutkan di dalam doa, ibadah fardhu, tingkah laku, dan lisan yang diucap sesama insan. Maka, sesungguhnya Allah Azza wa Jalla lebih tahu apa yang ada di dalam hati manusia dan Dia akan membalasmu dengan apa yang tidak engkau ketahui setelahnya. Maka tulislah yang indah teruntuk-Nya, agar tak hanya lapar-dahaga yang kamu perjuangkan.
Mengutip sebuah sajak dari Maulana Jalaluddin Ar-Rumi, “Di dalam cahaya-Mu aku belajar mencintai. Di dalam keindahan-Mu aku belajar menulis puisi. Kau senantiasa menari di dalam hatiku, meski tak seorang pun melihat-Mu, dan terkadang aku pun ikut menari dengan-Mu. Dan ‘Penglihatan Agung’ inilah yang menjadi inti dari seniku.” Sajak ini agaknya mengajarkan bagaimana manusia agar bisa hidup dalam keruhanian ihsan. Merasa diawasi, dilihat, dan dikepung oleh Dzat-Nya. Jika sudah seperti itu, maka saat berpuasa, berkata-katalah dengan indah, berlaku baik lah sesuai aqidah syari’ah, baik itu Hablumminannas maupun Hablumminallah. Semoga surat cintamu yang mengandung tutur kata rindu dibalas oleh-Nya dengan anugerah hidup yang berkah.
Satu hal yang selalu menjadikan manusia gamang, ketakutan atas sebuah kehilangan. Ingatlah, Tuhan selalu sayang, kita yang kadang terlalu lancang. ***
Muhammad Irsyad Al-djaelani, lahir di Minas, 24 April 1988. Pengamen, dan juga menulis beberapa puisi, cerpen, dan essai di media lokal. Penggerak Malam Puisi Pekanbaru, dan juga belajar di Komunitas Paragraf. Saat ini tengah berjuang untuk mempelajari praktik tasawuf sufisme.