Tentang Sebuah Pertemuan
Pagi ini waktuku menyulut sesapa hangat untukmu
Semoga nanti baranya juga membakar habis
Sesosok rindu yang melengkung di kepalaku
Serupa tanda tanya
Kulipat rapi dan kusimpan dalam saku celana
cepatcepat
Aku tak ingin jauh terlambat
Kusongsong rekah senyummu
Tempat ingin kujepitkan seguncang debar
Yang tak pernah belajar bersabar
Kubuka lipatan rinduku
Kemudian
Kutikam mati dengan runcing suaramu
Yang memanggilku mesra
“Sayang”
Kusikap betapa pertemuan ini begitu kunantikan
Lewat beberapa potong kalimat yang gugup dan ragu
Seperti kelu yang berdenyut-denyut di dadaku
Dalam sebuah prasangka
Mungkinkah kau tahu?
Aku begitu merindukanmu
Akhirnya kupersilakan pagi yang kikir ini
Menguapkan salam perpisahan dari bibirku
Padahal belum selesai kukubur rindu
di pebaringan paling palung
Kendati ia pasti bangkit lagi
Rindu ini hanya sedang mati suri
Kapankah
Kau tuntaskan rinduku sampai tak bernyawa
Agar ia tak lagi mengganggu
Ah,
Kutunggu saja waktu
A-Gamya
Yang kulihat pagi itu adalah cahaya matahari oranye. Serta sebintik senyummu yang tak lebih hangat dari separuh cangkir tehku. Menyapa bersama senyum-senyum lain yang memenuhi kantong bekalku dengan doa-doa. Meneguhkan semangat untuk berangkat mengantar mimpi menuju kenyataan.
Aku telah berulang kali melihat senyummu. Di setiap halte tempat aku singgah menyandarkan lelah dan amarah. Kadang disertai belai ringan jari-jarimu di helaian rambut lebatku-tempat aku sekali-kali ingin menyesatkanmu.
Aku telah berulang kali melihat senyummu. Tapi tak pernah terkesan seperti hari ini. Barangkali cinta sebenarnya tidak benar-benar terlihat seperti cinta. Barangkali cinta hanyalah sesuatu yang tak pernah pergi.
--sepertimu
Pagi di Sebuah Bingkai Jendela
Ada matahari yang terbit malas-malasan
Udara dingin sisa hujan semalam
Dua tetes embun yang berguling mesra di rerumputan
Pencuri
Semalaman, aku mencarinya
Di kolong meja
Di lembar-lembar surat cinta
Di gaung-gaung tawa
Aku pun sudah bertanya pada aroma hujan
yang kau tinggalkan di handukku
tadi sore
