Opini

Perampasan Ruang Publik

Perampasan Ruang Publik
M. Tazri (foto: istimewa)
Oleh: M.Tazri
 
Berita mengenai Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta, kasus korupsi Lahan Sumber Waras, kasus korupsi Reklamasi Teluk Jakarta dan penghapusan Kebijakan 3 in 1 merupakan informasi yang begitu ramai di berbagai media tanah air, lebih-lebih di televisi akhir-akhir ini. Empat pemberitaan di atas adalah masalah atau kasus yang terjadi di Ibu Kota. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah: apa guna berita ini bagi masyarakat yang ada di Majene (salah satu daerah di Sulawesi)? apa penting berita ini bagi masyarakat di Bangkinang (salah satu daerah di Riau)? dan, apa implikasi berita ini bagi masyarakat di fak-fak (salah satu daerah di Papua)?
 
Alasan yang mungkin dikemukakan adalah bahwa isu korupsi sedang hangat dibicarakan dan rentan terjadi di birokrasi pemerintahan, atau Jakarta merupakan representasi negara sehingga layak untuk diberitakan secara nasional. Jawaban ini bisa jadi benar, tapi tidak tepat jika dilihat dari kacamata demokrasi.
 
Bukan mengenai esensi pemberitaan, tetapi lebih kepada porsi penyuguhan berita. Empat kasus di atas merupakan bagian dari deretan isu Jakarta yang muncul hampir dalam setiap sesi tayangan berita, baik itu pagi, siang, petang maupun malam. Jikapun terdapat berita dari berbagai daerah lain di Indonesia, berita tersebut hanya dijadikan selingan dengan space dan durasi yang sedikit, seolah hanya sebagai penunda kejenuhan pemirsa. Setuju atau tidak setuju, hal inilah yang sedang terjadi di layar kaca masyarakat Indonesia saat ini. Berita televisi cenderung Jawasentris, dan wabil khusus lagi didominasi berita dari Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi).
 
Untuk kasus Pilgub DKI, hampir seluruh masyarakat Indonesia tahu bagaimana dinamika yang terjadi di Jakarta. Kontroversi Ahok pun menjadi buah bibir berbagai kalangan, bahkan menjadi perdebatan oleh mereka yang tidak terdampak DKI sekalipun. Sosial media dibanjiri pembahasan yang sama, bahkan juga rentan menimbulkan konflik antara golongan masyarakat yang pro dan kontra. Kasus korupsi Lahan Sumber Waras dan Reklamasi Teluk Jakarta juga menjadi platform kasus yang sama. Aktor kunci di sini adalah Ahok, DPRD Jakarta dan BPK. Kasus ini kemudian dianggap menjadi informasi yang seksi bagi media khususnya televisi. Demikian juga dengan penghapusan Kebijakan 3 in 1 di mana macet memang permasalahan serius Jakarta. Namun, bagaimana mungkin kasus dengan ruang lingkup di situ-situ saja ditayangkan secara nasional dengan berbagai segmen berita dan sering. 
 
Kesan yang kemudian muncul adalah meng-Indonesiakan Jakarta. Rusuhnya Jakarta dijadikan representatif Indonesia secara keseluruhan, karena bagaimanapun suatu negara akan dilihat dari bagaimana isi (tayangan) medianya.
 
Pada prinsipnya, televisi yang bersiaran nasional tersebut adalah televisi swasta (kecuali TVRI) yang meminjam frekuensi kepada negara. Frekuensi tersebut pada hakikatnya merupakan sumber daya alam (SDA) yang tidak dapat diperbaharui dan sifatnya terbatas. Posisi frekuensi bisa saya katakan sama dengan minyak, gas, air dan tanah yang dikuasai sepenuhnya oleh negara dan setiap warga negara berhak atas SDA tersebut. Untuk itulah, media yang menggunakan frekuensi tersebut wajib diatur untuk menjamin kontribusinya terhadap publik. 
 
Televisi dituntut untuk adil dalam melakukan kegiatan penyiaran, caranya yaitu dengan memberlakukan keberagaman konten siaran. Daerah harus mendapatkan tempat untuk disiarkan demi memenuhi kebutuhan informasi masyarakat Indonesia secara menyeluruh di daerah, dalam hal ini publik memiliki hak mendapatkan ruangnya pada ranah penyiaran. 
 
Keberagaman isi siaran menjadi prinsip dalam menegakkan demokratisasi penyiaran. Komposisi tayangan lokal dan nasional diharapkan seimbang, bahkan dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) mengatakan bahwa program lokal dalam sistem stasiun jaringan wajib dimuat minimal 10% dan hendaknya terus ditingkatkan hingga 50% per hari. 
 
Namun kenyataan yang terjadi saat ini 'jauh panggang dari api', televisi sibuk dengan tayangnnya. Kompleksitas permasalahan di Jakarta dirasa menarik dan tak pernah habis untuk dihadirkan, pengambilan sudut pandang muncul dari berbagai sisi. Perampasan ruang publik terjadi. Masyarakat di daerah seolah dipaksa untuk menonton tayangan (apa saja) yang ditayangkan, apakah itu penting atau tidak, apakah itu dibutuhkan atau tidak, pengelola televisi seperti tak peduli. Mereka lupa bahwa masyarakat memiliki hak penuh atas frekuensi yang mereka gunakan. Masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang layak, berimbang, netral dan beragam. Karena itu semua merupakan hak (ruang publik) atas frekuensi. Pelan-pelan pengelola televisi swasta ini merampasnya, merampas ruang yang dimiliki publik.
 
Kondisi seperti ini sebenarnya sudah sangat sering (keseringan) terjadi di televisi kita, bagaimana Jakarasentris mendominasi layar kaca pemirsa se-Indonesia. Isu atau kasus yang sedang terjadi terkesan seperti sinetron dengan episode-episode yang tak berujung. Pemirsa pun terkontaminasi, mereka akan dibuat menerka-nerka siapa yang benar dan siapa yang yang salah, siapa yang menang dan siapa yang kalah, bagaimana bisa menang dan bagaimana bisa kalah. Berbagai isu dimunculkan baik itu bertujuan persuasif maupun provokatif, kesemuanya itu dikonstruksi demi menimbulkan daya tarik pemirsa.  
 
Framming (pembingkaian) mediapun tampak sekali, ada televisi yang memberitakan kronologis kasus secara utuh, dan ada juga televisi yang hanya mengambil moment yang menarik saja. Dan kesemuanya itu hanya berkisar di daerah Jabodetabek. Jika sudah demikian, lagi-lagi ruang publik yang semestinya menjadi hak masyarakat luas, secara tidak sadar telah mereka (pengelola media) rampas. 
 
TV kita: Jakarta lagi, Lu-gue lagi.
 
Yogyakarta, 14April 2016
 
 
Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Al Munawwarah Pekanbaru. Menyelesaikan Strata 1 Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan pernah menahkodai IKPMR Malang. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM).
 


Berita Lainnya

Index
Galeri