Gawat! Kepala Daerah dan DPR Masuk Empat Besar Pelaku Korupsi

Gawat! Kepala Daerah dan DPR Masuk Empat Besar Pelaku Korupsi
Bupati Subang Ojang Sohandi mengenakan rompi tahanan seusai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jak
JAKARTA - Sederet nama kepala daerah justru masuk daftar tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lantaran ketahuan melakukan suap. Tak heran bupati atau wali kota menjadi salah satu pelaku korupsi terbesar di Indonesia.
 
Dari data yang diakses melalui acch.kpk.go.id, bupati dan wali kota menduduki peringkat keempat sebagai pelaku korupsi terbesar di Indonesia sepanjang tahun 2004 hingga 2016 dengan jumlah 49 orang.
 
Peringkat tertinggi pelaku korupsi adalah dari swasta sebanyak 134 orang, kemudian pejabat eselon I/II/III sebanyak 126 orang, dan anggota DPR dan DPRD sebanyak 109 orang.
 
Kepala daerah yang terbukti melakukan korupsi belakangan ini adalah Bupati Subang Ojang Suhandi. KPK mengamankan Ojang pada Senin (11/4/2016) karena menyuap dua orang jaksa dari Kejaksaan Tinggi Jawa Barat.
 
Suap ini diduga untuk mengamankan Ojang agar tidak terseret perkara korupsi Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) di Kabupaten Subang yang sekarang ada di persidangan. Ia diketahui memberikan uang suap sebesar Rp528 juta untuk meringankan tuntutan terdakwa lain dan mengamankan dirinya.
 
Kasus suap  yang dilakukan kepala daerah pada jaksa rupanya bukan pertama kali terjadi. Sejumlah bupati pun pernah tersandung kasus yang sama hingga menyeret nama mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar.
 
Para bupati terbukti menyuap Akil agar mengabulkan gugatan terkait sengketa pilkada yang mereka ikuti. Umumnya para bupati yang mengajukan gugatan merasa tak terima dengan hasil pilkada karena kalah jumlah suara.
 
Bupati Empat Lawang Budi Antoni Aljufri dan istrinya, Suzana. Masing-masing divonis empat tahun dan dua tahun penjara pada Januari 2016 oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Keduanya terbukti menyuap Akil sebesar Rp10 miliar dan 500.000 dollar AS untuk mengabulkan gugatan yg diajukan Budi terkait sengketa pilkada Empat Lawang.
 
Kasus ini bermula ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Empat Lawang menetapkan Joncik Muhammad dan Ali Halimi sebagai pasangan calon terpilih bupati dan wakil bupati periode 2013-2018. Sementara Budi dan pasangannya, Syahril Hanafiah menduduki posisi kedua.
 
Tak terima dengan hasil penghitungan, Budi mendaftarkan gugatan ke MK yang diketuai Akil. Untuk memuluskan rencananya itu, Budi menugaskan Suzana untuk memberikan uang sebesar Rp10 miliar secara bertahap melalui, Muhtar Ependy, orang terdekat Akil. Atas pemberian tersebut, Akil memutuskan membatalkan berita acara rekapitulasi hasil penghitungan suara pemilu Kabupaten Empat Lawang yang akhirnya dimenangkan Budi.
 
Hal serupa terjadi pada Bupati Morotai Rusli Sibua yang divonis empat tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Rusli terbukti besalah karena menyuap Akil sebesar Rp 2,9 miliar terkait penyelesaian sengketa pilkada Morotai di MK. Rusli mengajukan gugatan karena kalah suara dari pasangan Arsad Sardan dan Demianus Ice pada 2011.
 
Kemudian Bupati nonaktif Tapanuli Tengah Bonaran Situmeang yang juga divonis empat tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada Mei 2015. Ia menyuap Akil sebesar Rp1,8 miliar untuk mempengaruhi putusan pekara permohonan keberatan hasil pilkada Kabupaten Tapanuli Tengah pada tahun 2011.
 
Selanjutnya adalah sengketa pilkada Lebak dengan terdakwa mantan Gubernur Banten Atut Chosiyah, adik Atut yakni Tubagus Chaeri Wardana atau Wawan, mantan kandidat pilkada Lebak Amir Hamzah dan Kasmin, serta pengacara bernama Susi Tur Andayani. Dalam kasus ini Akil menerima suap Rp1 miliar dari Atut, Wawan, dan Amir.
 
Kemudian dalam sengketa pilkada Palembang dengan terdakwa wali kota Palembang, Romi Herton dan istrinya, Masyitoh. Masing-masing divonis tujuh tahun penjara untuk Romi Herton dan lima tahun penjara untuk Masyitoh pada Juni 2015. Akil diketahui menerima uang sebesar Rp19,8 miliar dari Romi melalui Muhtar.
 
Sementara Akil divonis seumur hidup oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada Juni 2014 karena terbukti menerima suap dari sejumlah sengketa pilkada. (max/cnn)
 


Berita Lainnya

Index
Galeri