Ini Perbandingan Empat Gerhana Matahari di Indonesia

Ini Perbandingan Empat Gerhana Matahari di Indonesia
Foto dokumentasi Gerhana Matahari Total 1995 di Sangihe Talaud, Sulawesi Utara menggunakan Teleskop
JAKARTA - Fenomena gerhana matahari baru saja terjadi di Indonesia. Sebelum gegap gempita menyambut gerhana matahari total (GMT) tahun ini, fenomena serupa pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya yaitu pada 1983, 1988, dan 1995.
 
Mantan Kepala Observatorium Bosscha yang juga Dosen Astronomi di Institut Teknologi Bandung (ITB) Moedji Raharto mengungkapkan secuil kisah mengenai pengalaman pengamatan GMT di tahun-tahun sebelumnya.
 
Gerhana Matahari 1983
 
Tahun 1983 dinyatakan Moedji merupakan paling fenomenal. Belum ada koneksi internet dan minim informasi. Hal ini bisa dikatakan menjadi salah satu penyebab warga begitu patuh terhadap imbauan pemerintah zaman Soeharto yang menyarankan agar masyarakat tidak keluar rumah.
 
"Selain mencekam karena dikerahkan aparat keamanan di sejumlah tempat, GMT 1983 memiliki fenomena yang luar biasa. Totalitasnya terjadi pada siang hari. Bayangkan, siang menjadi malam. Menakjubkan," kisah Moedji kepada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
 
Sayangnya, keindahan gerhana ketika itu justru dianggap pemerintah sebagai marabahaya. Isu dampak kebutaan yang secara langsung bisa menyerang mata dan mitos lain seperti ancaman kulit belang juga menghantui masyarakat.
 
Moedji kala itu mengamati dari Rembang, Jawa Tengah. Ia merasakan kengerian yang timbul dari masyarakat setempat karena takut keluar rumah. Aktivitas warga juga terhenti sesaat menjelang GMT.
 
Di samping situasi yang terasa mencekam, Moedji juga mengatakan bahwa peralatan ilmiah yang dimiliki tim penelitian belum secanggih seperti sekarang. Teleskop yang tim peneliti gunakan jumlahnya terbatas, serta kamera untuk mengabadikan momen berjarak puluhan tahun tersebut masih kamera biasa dengan tambahan filter.
 
"Tidak ada internet, warga mana bisa kritis. Gerhana dulu memang dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan. Kemudian keadaan sedikit membaik pada GMT 1988," ungkap Moedji.
 
Gerhana Matahari 1988
 
Diakui Moedji, GMT pada 18 Maret 1988 silam situasinya sedikit lebih baik dibanding 1983. Masyarakat sudah mulai teredukasi meski tidak maksimal. Namun menurutnya, euforianya tidak 'segila' gerhana sebelumnya pada 1983.
 
Moedji mengamati dari Palembang yang ketika itu langitnya tertutup awan tebal. Titik yang mendapat totalitas sempurna terdapat di sekitar Jembatan Ampera, Sumatera Selatan. Dari penuturannya, GMT tahun 1988 tidak terlalu berkesan.
 
Gerhana Matahari 1995
 
Fenomena GMT kemudian terjadi lagi pada 24 Oktober 1995. Ia menilai masyarakat sudah semakin banyak menyerap informasi mengenai gerhana. Ia mengamati di Sangihe Talaud, di mana sudah banyak wisatawan mancanegara yang sengaja berkunjung ke Indonesia demi menyaksikan GMT.
 
"Tahun 1995 itu jalurnya dari Iran, sejumlah negara di Asia Tengah, lalu ujungnya di Indonesia. Selain di titik tempat saya melakukan observasi, banyak juga turis dari Jerman dan Belgia yang sengaja datang ke Manado untuk lihat gerhana," kenang Moedji.
 
Sama halnya seperti yang dirasakan oleh salah seorang peneliti astronomi dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Gunawan Admiranto. Ia mengatakan, GMT pada 1995 puncaknya terjadi juga pada siang hari, namun durasinya lebih sebentar dari peristiwa 1983.
 
"GMT tahun 1995 durasinya di bawah 7 menit. Kala itu perjalanan menuju titik pengamatan saya di Tahuna, Sulawesi Utara harus menyambung pesawat terlebih dahulu dari Manado. Namun antusiasme warga sudah mulai terlihat. Berbeda sekali dengan 1983, mereka sudah mendapat sosialisasi tentang gerhana," ucap Gunawan.
 
Gerhana Matahari 2016
 
Nah, sedangkan GMT yang berlangsung pada 9 Maret ini, tidak diragukan lagi memang berbeda sekali dengan tahun sebelumnya. Diakui oleh peneliti Lapan basis Bandung Rhorom Priyatikanto, selain kemajuan teknologi yang menghasilkan peralatan ilmiah yang lebih canggih, peran media sangat besar dalam memberi informasi soal GMT. Hal tersebut dianggap mampu menyulut euforia masyarakat.
 
"Istimewanya di tahun ini adalah banyak yang mempersiapkan, salah satunya Kementerian Pariwisata yang memanfaatkan momentum ini untuk menarik wisatawan agar mau berkunjung. Euforianya yang membuat GMT 2016 berbeda dari tahun-tahun sebelumnya," tutur Rhorom seperti dikutip dari cnnindonesia.com.
 
Selain wisatawan, momen GMT 2016 ini juga berhasil menarik perhatian badan antariksa Amerika Serikat (NASA) sehingga mau berkolaborasi dengan Lapan untuk melakukan observasi bersama di Maba, Maluku Utara.
 
NASA membawa peralatan mumpuni sendiri langsung dari Amerika yang terdiri dari instrumen coronagraph dan polarization camera. Polarization camera dijelaskan oleh Reginald, memiliki 20 ribu lebih pixel dan mampu menangkap 4 gambar gerhana sekaligus sesuai pola yang sudah diatur sehingga hasilnya nanti bisa memberi citra jelas mengenai prosesnya.
 
Sementara Lapan memakai instrumen Compact Littrow Spectograph yang terdiri dari teleskop optikal, kamera CCD, serta spectograph dengan resolusi R ~ 8000.
 
Soal fenomenanya, Rhorom mengaku sama seperti biasanya, hanya saja tim Lapan diakuinya masih dalam proses penelitian mengenai pengaruh angin gerhana di lapisan ionosfer. Di sana terdapat jaringan sinyal komunikasi radio, HandyTalkie, dan sebagainya. Rhorom mengaku, mereka masih dalam tahap riset apakah itu nantinya akan berdampak berupa gangguan besar, sebab sejauh ini masih sebatas gangguan minor.
 
Baik Moedji maupun tim NASA berharap bakal memperoleh keunikan dan data ilmiah baru dari hasil pengamatan GMT 2016 ini. Kita lihat saja nanti. (das/cnn)


Berita Lainnya

Index
Galeri