Digitalisasi Media Penyiaran

Senin, 23 Mei 2016 | 06:34:55 WIB
M. Tazri (foto: istimewa)
Oleh: M. Tazri
 
Perkembangan dunia penyiaran khususnya televisi tampak begitu menggembirakan, terlepas dari muatan konten siaran yang belakangan tidak menunjukkan perkembangan apa-apa dan bahkan terkesan mundur. Dunia penyiaran begitu mendapat perhatian baik dari pengelola industri tersebut, masyarakat (pemirsa) maupun pemerintah dengan segenap regulasinya. Hal ini dibuktikan dengan adanya sinyal untuk men-digitalisasikan media penyiaran di Indonesia. Kebijakan digitalisasi merujuk pada Genewa Agreement yang dihasilkan International Telecomunication Union (ITU). Artinya, akan ada peralihan dari televisi analog (saat ini) beralih ke digital (akan datang). Format digital akan membuat transformasi data dalam waktu bersamaan yang akan mampu meningkatkan resolusi gambar dan suara. Sehingga digitalisasi membuat gambar dan suara yang dihasilkan pada layar televisi kita akan jauh lebih jernih dan terang.
 
Televisi analog yang bersiaran sekarang ini menggunakan satu frekuensi untuk satu televisi, dan dalam sistem digitalisasi satu frekuensi tersebut akan mampu dipecah 8 sampai 12 slot siaran. Tentu ini akan menjadi penghematan frekuensi yang begitu besar dan akan memberi keuntungan tersendiri bagi negara (digital dividen). 
 
Proses digitalisasi media penyiaran ini telah dimulai, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengurusi Lembaga Penyelenggara Penyiaran Multipleksing (LPPM) dan DPR RI Komisi I fokus pada regulasi digitalisasi pada undang-undang penyiaran. Rencananya, secara teknis akan ada pemisahan pengelolaan sistem siaran digital, yaitu antara pengelola infrastruktur dan penyedia konten siaran. Dalam hal ini, perusahaan televisi yang ada saat ini lebih diarahkan pada penyedia konten siaran. 
 
Namun dalam prosesnya, dinamika digitalisasi media penyiaran cukup kompleks. Rencana digitalisasi akan dilakukan secara merata pada tahun 2018 tampaknya masih belum mungkin terealisasi, mengingat masih terdapat persoalan yang masih belum terselesaikan. Pertama, belum adanya regulasi pasti yang akan menjadi payung hukum proses digitalisai. Meskipun saat ini RUU penyiaran pengganti UU No.32 tahun 2002 sedang masa pembahasan dan digitalisasi akan dimasukkan dalam pembahasan tersebut, namun belum ada kepastian kapan selesai dan bagaimana RUU yang baru nantinya. Tentu kondisi ini akan memperlambat sistem kerja. 
 
Kedua, infrastruktur seperti menara pemancar, antena dan saluran transmisi yang semula analog akan beralih ke digital. Pada tataran masyarakat, televisi yang dimiliki saat ini diharuskan memiliki set top box untuk menangkap siaran digital. Untuk infrastruktur seperti ini masih belum selesai pembahasannya, sedangkan perusahaan-perusahaan telah siap untuk berebut kue proyek digitalisasi ini. 
 
Ketiga, ketimpangan ekonomi dan pembangunan yang belum merata menjadikan renungan tersendiri dalam proses digitalisasi ini. Indonesia di satu bagian telah siap seutuhnya dengan digitalisasi, tapi Indonesia juga memiliki bagian lain yang masih butuh perhatian. Pemerintah tampaknya harus berbalik badan dulu untuk berbenah di dalam negeri sebelum akhirnya kita mengadopsi kemajuan teknologi.
 
Secara umum, aspek sosial, politik dan ekonomi di Indonesia akan sangat besar memberi pengaruh terhadap kebijakan digitalisasi ini. Digitalisasi penyiaran adalah sebuah keniscayaan, mau tidak mau kita pasti akan berada pada masa itu. ***
 
*Penulis Adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada.
 

Terkini