Surat

Surat
Dok. Riaurealita.com
 
KETIKA pertemuan jadi ukuran dari sebuah hubungan percintaan, Long Distance Relationship (LDR) menitipkan pesan penting: cinta ternyata hanya butuh pulsa dan kuota data karena, saat ini, kangen bisa tandas meski hanya lewat gambar (visual) dan suara.
 
Dewasa ini, akses internet pun kian mudah hingga korespondensi terasa gampang. Maka, tak ada lagi jarak (secara spasial). Yang ada hanya kian kurangnya “ketersentuhan” akan sesuatu yang dekat alih-alih yang dirindukan.
 
“Tapi anak-anak zaman sekarang tak ‘kenal’ surat,” kata seorang tua di kedai fotokopi itu.
 
Kita, generasi zaman baru ini, memang sepantasnya terhenyak: dahulu, muda-mudi di seantero negeri menitipkan kalimat-kalimat kerinduannya dalam sepucuk surat. Tak ayal, selain tukang kredit panci, kehadiran tukang pos atau yang akrab disapa Pak Pos selalu dinanti. Lantas, rindu yang membuncah tadi, kangen yang tak biasa di luar “kita berdua”, juga puisi-puisi atau senarai kata-kata indah yang kadang diselipkan sebagai pemanis di paragraf akhir, tumpah dalam pembacaan “yang tak akan pernah selesai itu”.
 
Ya, “tak akan pernah selesai”. Itu karena surat-surat tersebut disimpan, lalu diletakkan hati-hati bersama foto sang pacar untuk dibaca kembali. Kembali dan terus saja begitu hingga suatu waktu itu datang, yakni sebuah pertemuan (yang diharapkan). Tapi, sebagai generasi yang tak merasakan hal itu, kita tentu tak bisa membayangkan bagaimana nasib surat itu lebih jauh.
 
Yang bisa kita bayangkan adalah sepasang kekasih itu memeluk cintanya dengan teguh dan sungguh.
 
Atau jika kita tarik ke masa yang lebih tak terjangkau: muda-mudi yang tengah dimabuk asmara telah menitipkan harapan mereka kepada burung merpati. Di masa yang bisa kita bayangkan sebagai era penuh kerajaan itu, merpati benar-benar sibuk. Ia menating dua peran sekaligus: sebagai penyampai pesan atau, jika ternyata sepasang, jadi lambang kesetiaan. Tapi, kini, kurir cinta orang-orang yang mungkin hidup di abad pertengahan itu, hanya menjalankan peran yang pertama. Lantas, meski perannya bertambah di kurun ini, tapi esensi sang merpati kiranya tak berubah: ia kerap dan hanya jadi ikon cinta di karangan bunga, selain kadang-kadang juga tercetak pada undangan-undangan pernikahan. Sejak saat itu, praktis, sayapnya mulai digantikan bunga-bunga.
 


Berita Lainnya

Index
Galeri