JAKARTA - Peristiwa pembakaran bendera menyerupai bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Limbangan, Garut, Jawa Barat pada peringatan Hari Santri Nasional, 22 Oktober lalu, sudah berlalu lebih dari dua minggu.
Aparat kepolisian juga sudah menetapkan tersangka terkait peristiwa tersebut. Namun, pihak-pihak tertentu terkesan masih terus mempolitisasinya sedemikian rupa.
Menurut pengamat politik Afriadi Rosdi, kemungkinan tujuannya untuk menjauhkan calon presiden petahana Joko Widodo dari pemilih muslim. "Saya kira sampai sekarang kelompok tertentu masih terus berusaha mengeksplorasi isu itu," ujar Afriadi, Senin (5/11/2018).
Menurut Ketua Pusat Kajian Literasi Media ini, meski masih terus dicoba, kelompok tersebut sepertinya membentur tembok tebal. Pertama, karena kuat dugaan bendera yang dibakar merupakan milik HTI, meski ada pihak yang membantahnya.
"Kondisi ini saya kira menjadi penilaian masyarakat. Karena HTI telah dinyatakan sebagai ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan semangat NKRI," ucapnya.
Kedua, ormas Islam terkemuka di Indonesia seperti NU dan Muhammadiyah, kata Afriadi, tidak sepakat dengan perjuangan HTI. Ketiga, pelakunya adalah Banser, dan niatnya disebut bukan untuk menghina kalimat Tauhid, tapi sekadar membakar bendera HTI agar tidak terinjak-injak
Perlu diketahui, Banser merupakan underbow Nahdlatul Ulama, ormas Islam yang memang selama ini menolak keberadaan HTI. "Nah, karena kuat dugaan yang dibakar adalah bendera HTI, maka pembelanya bisa kena serangan balik sebagai pembela HTI. Kondisi ini tentu tidak baik," pungkas Afriadi.
