PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
Sedemikian Berkaratkah Akar-Akar Cinta?
sebijih benih mestinya dirawat sepenuh utuh
dan dibiarkan tumbuh
kelak ia bisa bermetamorfosa merupa cahaya
bagi semesta, bagi sesama
anak-anak adalah keriangan yang tak terbelenggu oleh almanak
: tak sendu oleh debu masalalu, tak gemetar pada denyar masa depan
larut hanya pada detik arloji yang tengah berdetak, menikmati
tarian semesta sepenuh sukma. bagi mereka, tangis adalah semata
bermain-bermain dengan gericik airmata, selepasnya tak ada
genangan kepedihan yang layak dikenang. dan tertawa bagi
mereka adalah hidup sepenuh gairah, membuncah renyah
begitu saja
adakalanya kita, orang-orang dewasa, perlu sesekali berguru
kepada anak-anak tentang kesederhanaan
yang memerdekakan
sayang, begitu banyak benih yang mulai tumbuh
justru dibonsai, dilukai, dibantai
sampai benar-benar lumpuh
entah terbuat dari apa hati orang-orang yang memperlakukan
anak-anak sebagai tanah liat, budak, sapi perah, binatang ternak
apakah negeri ini mulai dilanda gerhana?
betapa kerapnya koran-koran, tabung kaca, juga lembar-
lembar maya mengabarkan segala kengerian anak-anak
: ada yang dipaksa memanggul matahari
ada yang diperkosa jiwa dan tubuhnya
ada yang disayat-sayat masa depannya
bagaimana suatu kebun akan rimbun
jika benih-benih terlanjur sekarat
sebab akar-akar cinta sedemikian berkarat?
Ketanggungan, Brebes, 2016
Fragmen Paradoksal
adakah negeri ini tengah dilanda gerhana?
atas nama yang mahacinta, genta keriangan kau remukkan
atas nama yang mahakasih, bijih kebencian kau taburkan
atas nama yang mahacahaya, kau redupkan kebersamaan
atas nama yang mahaindah, kau hanguskan lukisanlukisan
pemahamanku akan tuhan, barangkali tidak sama dengan
pemahamanmu, caraku memujanya juga bisa jadi berbeda
tapi kita dicipta oleh tuhan yang sama dan kita berdenyut
dalam satu semesta, bukan?
lalu untuk apa segala keriuhan didengung-dengungkan?
untuk apa membakar sekam?
anak-anak berlompatan di dalam kepalaku
mereka heran: mengapa ada, demi kenikmatan surga
membabibuta?
perjalanan menuju surga patutkah dilalui dengan menorehkan
lukaluka bagi sesama?
adakah itu ajaran kitab yang konon suci?
apakah kitab itu terbuat dari petasan dan ayat-ayatnya tersusun dari
peluru?
adakah itu perintah tuhannya?
lalu tuhan macam apa yang menyuruh para hambanya memproduksi
api?
Tuhankah yang mereka sembah, atau
imajinasi mereka sendiri tentang tuhan?
adakah negeri ini tengah dilanda gerhana?
Ketanggungan, 2016
Sepucuk Asmarandana
aku menulis puisi pada selembar bulu angsa yang
kupungut di sela rerimbun bambu belakang rumah
sebagai hadiah atas kesetiaanmu merawat sepahat
lingkaran bulan purnama pada keping tembaga yang
kutitipkan padamu selama aku berpetualang mencari
makna kesejatian, tertatih menafsirkan segala
semesta puisiNya
mari kekasihku, malam ini kita mendayung waktu
menyusuri cahaya demi cahaya melepas
kegelisahankegelisahan
meremas kerinduan dan
merayakan
getar percintaan apa adanya
Banda Aceh, 2016
Gelembung Ilusi
sesaat lagi kereta berangkat mengangkut mimpimimpi
tapi dari balik jendela bilik, kau masih saja berjingkat
mengintip matahari yang tak lebih besar dari piring nasi
rupanya kerinduanmu pada selingkar cahaya itu
tak pernah tergenapkan
dan kau biarkan anak-anak di kepalamu memainkan
gelembung ilusi dan menerbangkan layanglayang
entah sampa kapan
sedang
sesaat lagi kereta berangkat mengangkut mimpimimpi
Brebes-Sabang, 2016
Abu Ma'mur MF, seorang petani puisi dan pecandu kopi serta buku. Lahir di Tegal dan bermukim di Brebes. Puisi-puisi dan tulisannya tersebar di Horison, Suara Merdeka, Wawasan, Muslimah, Sabili, Perkawinan dan Keluarga, Tren, Kabar Pesisir, dsb.