Manajemen Amarah

Manajemen Amarah
Ustazah Nella Lucky, S.Fil.I., M.Hum. (Foto: Istimewa)
Oleh: Ustazah Nella Lucky, S.Fil.I., M.Hum.
 
KONFLIK horizontal selalu terjadi selagi manusia hidup berinteraksi dengan orang lain. Akan ada perkelahian dan percekcokan yang terjadi antara manusia. Cek cok tak kan bisa dihindari karena ia adalah bagian dari peradaban hidup manusia.
 
Sama halnya amarah. Marah tidak bisa dihindari karena manusia punya nafsu Amarah yang diberikan oleh Allah. Jadi jika manusia tidak punya nafsu untuk marah adalah mustahil. Maka setiap manusia punya nafsu marah. Nafsu marah adalah takdir, namun BAGAIMANA CARA MARAH adalah PILIHAN.
 
Dunia tidak lagi terlalu membutuhkan orang-orang pintar dan cerdas, tetapi dunia membutuhkan orang yang beradab. Karena adab jauh lebih penting dibanding pengetahuan. Pengetahuan bisa dipelajari, dipahami dengan mudah, tetapi adab butuh ketekunan, menahan diri, menekan hawa nafsu untuk membentuknya.
 
Dunia membutuhkan orang orang beradab. Dan diantara orang beradab adalah yang bisa menekan amarahnya.
 
Lalu bagaimana cara marah? Itu pilihan. Mari kita setting cara marah kita agar lebih kredibel dan berkelas.
 
Saya awali tulisan ini dengan sebuah kisah:
 
Seorang ibu datang dan bertanya kepada saya. "Bu, saya sering sekali bertengkar dengan suami saya, pagi siang petang malam selalu bertengkar. Bagaimana cara agar kami tidak bertengkar".
 
Saya bertanya, "bertengkar itu biasa, tetapi bagaimana cara bertengkar itu luar biasa. Sebelumnya saya mau bertanya kepada Ibu, bahasa sehari-hari dengan suami menggunakan bahasa apa?"
 
Ia jawab, "bahasa Indonesia, Bu". 
 
Saya bertanya kembali, "kalau bertengkar menggunakan bahasa apa?"
 
Ia menjawab, "bahasa Minang, Bu".
 
Saya lanjutkan, "kalau konflik tetaplah menggunakan bahasa Indonesia."
 
Lalu ia membantah, "aduh mana enak marah pakai bahasa Indonesia, nanti marah saya gak lepas, Bu."
 
Saya katakan, "buat apa marah dilepas-lepaskan?" Harusnya memang kita menahan lalu mengapa bangga jika dilepas-lepas? Sejenak saya merasa heran mengapa manusia bangga jika ia mampu melepas amarah? 
 
Kemudian saya tanya kembali, "panggilan sehari hari dengan suami panggilan apa?"
 
Ia menjawab, "Abang, Bu."
 
Lalu kalau bertengkar manggil apa? Ia berkata, "manggil KAU, Bu."
 
Saya jelaskan, jika marah tetaplah menggunakan bahasa ketika berbaikan dan jangan sesekali merubah nama panggilan menjadi yang lebih kasar. Kenapa? Karena dalam teori Neuro Linguistik Program dijelaskan bahwa apa yang kita katakan akan masuk ke bawah sadar kita dan menjelma menjadi kenyataan.
 
Jika kita marah menggunakan bahasa yang kasar, maka emosi kita akan meledak-ledak. Tetapi jika kita menggunakan bahasa yang standar maka emosi kita akan ikut terkontrol karena bahasa akan menjelma menjadi sikap.
 
Saya ambil sebuah contoh, jika saya berkata, "hai, ambilkan air itu sekarang!" Tentu akan berbeda rasanya ketika saya berkata, "maaf merepotkan,bisa minta tolong diambilkan airnya?"
 
Sahabatku, kata akan menjelma menjadi rasa.
 
Jadi jika kita mau marah, lakukan langkah berikut:
1. Tetaplah menggunakan bahasa yang sama ketika kita lagi berbaikan, jangan pilih bahasa yang paling kasar.
2. Tetaplah menggunakan panggilan yang standar. Jangan mengubah ke panggilan yang lebih kasar.
3. Gunakan bahasa yang sulit kita gunakan.
 
Sesekali cobalah buat komitmen, jika kita mau marah, kita gunakan bahasa Inggris, yok? Atau bahasa Arab? Atau bahasa sulit lain yang kita kurang mampu. Karena kita menggunakan bahasa sulit otak kita hanya akan fokus memikirkan bahasa apa yang akan kita keluarkan dan akan lupa untuk memikirkan ego amarah kita. Atau kalau kita marah pakai tulisan saja, yok? Komitmen ini dapat meredakan emosi bukan?
 
Selamat mencoba.
 
Wallahua'lam.
 


Berita Lainnya

Index
Galeri