HMPRY Merayakan Metanusantara 

HMPRY Merayakan Metanusantara 

YOGYAKARTA - Dua hari menuju peringatan Sumpah Pemuda, 26 Oktober, pukul 20.00 lalu, Kitab Metanusantara untuk kedua kalinya dirembuki di kota Gudeg, sebelumnya bertempat di Asrama Mahasiswa Kabupaten Bengkalis, dan kali ini dihelat di Warmo alias Warung Mojok.

Rembuk Sastra, begitu ism acara malam itu, diselenggara oleh Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Riau-Yogyakarta (HMPRY), dengan mengusung tema: Metanusantara (Mantra dan Politik Sastra).

Rembuk Sastra itu merupakan rentetan dari dakwah literasi Mas Aryo ke beberapa kota, mulai dari Yogyakarta, Madiun, Semarang, Kendal, dan beberapa titik lainnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Di Jogja, seniman dengan nama panjang Suharyoto Sastrosuwignyo itu, berkolaborasi dengan dua akademisi Riau, Dr. Irwandra dan Dr. Hengki Firmanda, mengupas tuntas Metanusantara dengan ragam sudut pandang. 

Bertabur diksi dan narasi ditutur oleh kedua akademisi tersebut dalam merefleksi kandungan Novel Metanusantara itu. Irwandra, yang merupakan dosen Filsafat di UIN Suska Riau, pada kesempatan itu memberikan pembacaan historis terhadap Metanusantara.

Di awal kalam, beliau menyinggung terminologi Metanusantara secara genealogis, yang mengerucut menjadi 'di balik nusa-antara'. Hari ini, istilah Nusantara telah berkembang cukup pesat, bahkan masuk ke ranah politik identitas.

Kemudian, menyuburkan sebentuk ujaran, beliau menyebutnya sebagai 'mantra politik'. Merespon hal ini, Dr. Irwandra menegaskan bahwa mantra hari ini sebenarnya masih sangat populer, namun memiliki kemasan yang berbeda.

Dulu orang menghindari mantra karena berbau mistis, namun sekarang secara tak sadar orang berjamaah menciptakan mantra baru untuk menghegemoni yang liyan dan memuluskan kepentingan. "Di satu sisi mantra itu kita benci, namun di sisi lain ia diundang", ucapnya.

Di sisi lain, Dr. Hengki mendedahkan secara ilmiah sebuah panorama yang beliau temukan dalam novel yang ditulis selama 40 hari itu: adanya benturan nilai antara alam logis dan irasional. Tegasnya, "Ini lebih dari sebuah novel, ini adalah usaha pengungkapan realitas yang fisik dan nonfisik".

Metafisik, sebagai kata kunci dari novel setebal 448 halaman itu, juga menyiratkan khazanah filsafat yang takterbatas. Bahwa metafisika adalah inti ajaran filsafat: filsafat pertama, juga terakhir, lanjut dosen Hukum UR itu.


Malam itu, tak kurang dari 40-an orang yang hadir. Ada saatnya para hadirin dibuat bingung dengan tingkah Mas Aryo yang bertutur magis sebelum melanjutkan kalamnya. Konon, tutur magis itulah yang kemudian disebut dengan 'metateater', dan menjadi bagian dari identitas otentiknya.


Emil Lukman Hakim, salah seorang peserta diskusi malam itu, menyatakan afinitasnya terhadap topik diskusi (Mantra dan Politik Sastra), baginya, kegaduhan politik-sosial bangsa ini merupakan perpanjangan tangan dari sikap antipati masyarakat kita untuk menilik ulang bab-bab metafisis yang berjibun di negeri ini. Harapannya, HMPRY mampu menambah volume diskusi serupa, demi pematangan intelektual dan kognisi kolektif. 

Sungguh, kelancaran Rembuk Sastra itu  tak terlepas dari kontribusi sang moderator, Bung Rony K. Pratama, seorang pegiat literasi juga pecinta buku. Berkat ulasan-ulasan retorisnya acara malam itu berjalan penuh khidmat dan interaktif.

Kekhusyukan acara pun kian memuncak lewat lantunan puisi yang aduhai dari salah seorang keluarga HMPRY, Kak Anis. Pusi 'Burung Waktu' milik sastrawan kharismatik Riau, Idrus Tin Tin, menjadi santapan penutup yang merelaksasi jiwa para hadirin. Salam Literasi. 

Siul kicaumu, nyanyian yang kaubawa. Terbang menyeberangi lautan. Melintasi abad demi abad. Laju menuju masa depan, yang masih tebal diselimuti kabut (Idrus Tin Tin)


Berita Lainnya

Index
Galeri