Indonesia Negara Sengsara di Dunia?

Jumat, 05 Februari 2016 | 02:41:27 WIB
Hendri Teja
BADAN Pusat Statistik (BPS) telah merilis kondisi kemiskinan di Indonesia. Tercatat per Maret 2015 terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin di Indonesia menjadi 28,59 juta jiwa. Angka ini naik 310.000 jiwa dari Maret 2014 yang mencapai 28,28 juta jiwa.
 
Kenaikan jumlah orang miskin ini sebenarnya bukan sesuatu yang mengejutkan. Pasalnya, perekonomian nasional di era Jokowi-Jusuf Kalla memang cenderung tidak stabil. Sejumlah kebijakan pemerintah telah gagal mengungkit, bahkan menjaga daya beli masyarakat. Misalnya, kebijakan menaikan harga BBM (meski kemudian diturunkan, Red), gas elpiji, dan listrik, tanpa kebijakan bernas untuk mengantisipasi melambungnya kebutuhan bahan pokok.
 
Penyaluran beras untuk rakyat miskin (raskin) yang kemudian berganti nama menjadi beras untuk rakyat sejahtera (rastra) dan bantuan langsung tunai (BLT) tertunda akibat pemerintah lambat mengatur belanja. Lalu, ada juga gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menurut catatan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mencapai sekitar 26.000 buruh. Belum lagi melemahnya nulai tukar rupiah hingga mencapai kisaran Rp 14.000 per dolar AS.
 
Dalam konteks ini, menjadi menarik--meskipun wacana ini sudah tergolong usang-- untuk mendiskusikan kritik terhadap garis kemiskinan BPS, yakni pengeluaran US$ 0,79 per kapita per hari. Kendati demikian, sejak jauh-jauh hari para ekonom sejatinya menyarankan agar Indonesia menggunakan indikator Bank Dunia, yaitu US$ 2 per kapita per hari. Jika indikator Bank Dunia yang digunakan, sudah pasti jumlah penduduk miskin di Indonesia akan jauh lebih besar dari jumlah yang dipublikasikan BPS.
 
Terkait statistik ini pula, sebuah artikel Business Insider telah menempatkan Indonesia sebagai negara sengsara. Indonesia berada di posisi 17 dari 21 negara yang diteliti. Indonesia berada di atas Brasil, Rusia, dan Spanyol. Indikator yang digunakan adalah indeks sengsara (misery index)-nya ekonom Arthur Okun yang menghitung berdasarkan tingkat pengangguran dan inflasi suatu negara. Semakin tinggi angkanya, semakin sengsara negara tersebut. Logikanya adalah seseorang akan dinisbatkan sengsara karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya akibat tidak memiliki pekerjaan dan harga barang terus meningkat.
 
Jika penderitaan masyarakat Spanyol terkait perihal pengangguran, maka Rusia dan Brasil lebih karena inflasi yang meningkat tinggi. Sedangkan penderitaan masyarakat Indonesia terkait dengan keduanya, yaitu angka pengangguran dan tingkat inflasi yang cukup besar. Dengan alasan yang bertolak belakang, Swiss, Taiwan, dan Jepang, dinobatkan sebagai negara yang paling tidak menderita karena memiliki tingkat pengangguran dan inflasi yang rendah.
 
Sebagai catatan, memang ada beberapa kritik terkait misery index. Beberapa studi yang menyebut tingkat penganguran membawa pengaruh yang lebih besar atas ketidakbahagiaan, ketimbang inflasi. Jika menggunakan studi ini artinya Spanyol, Italia, Prancis, dan Polandia, lebih sengsara dibanding Indonesia. Namun, terlepas dari hal itu, kita tentu sepakat bahwa pemerintahan Jokowi-JK perlu bekerja keras untuk membenahi perkenomian nasional yang sedang gonjang-ganjing ini.***
 
Penulis: Hendri Teja
Wakil Ketua Umum PB Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia (Gasbiindo) 2014-2019
 

Terkini