PEKANBARU - Permasalahan perambahan hutan di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Kabupaten Pelalawan, Riau, masih menjadi isu serius yang belum terselesaikan. Meski sebagian lahan telah disita negara, ribuan warga yang mendiami kawasan tersebut belum bersedia hengkang.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran karena TNTN merupakan habitat penting bagi satwa langka yang dilindungi, seperti gajah dan harimau sumatera.
Pengamat Hukum Riau, Aspandiar, menyoroti lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku perambahan. Ia menegaskan perlunya ketegasan pemerintah agar fungsi hutan sebagai kawasan konservasi bisa dipulihkan.
“Gajah dan harimau sumatera itu dilindungi. Tapi rumah mereka dirambah, hutan jadi kebun. Pemerintah harus tegas menindak perambah agar fungsi hutan kembali,” ujarnya kepada wartawan di Pekanbaru, Senin (30/6/2025).
Aspandiar juga mengkritisi praktik pengembalian kebun sawit seluas 401 hektare oleh seorang pengusaha kepada negara. Menurutnya, langkah ini bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum.
“Sedap betul. Sudah merambah hutan, bikin kebun ratusan hektare, terus dikembalikan dan selesai urusannya. Bahkan dipuji seolah jadi pahlawan,” katanya.
Ia menilai hukum seolah "mogok jalan" dalam kasus-kasus lingkungan seperti ini. Padahal, pemerintah telah membentuk Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 sebagai upaya serius menangani perambahan hutan.
“Kalau akhirnya hanya berujung pada pengembalian lahan secara sukarela, publik patut bertanya, untuk apa semua itu?” tegasnya.
Berdasarkan data, lebih dari 40.000 hektare hutan TNTN telah beralih fungsi menjadi kebun sawit dan permukiman. Ribuan warga diketahui tinggal di kawasan ini dan sebagian besar mengklaim telah membeli lahan tersebut.
Beberapa pekan terakhir, Satgas PKH melakukan penertiban dan meminta warga melakukan relokasi mandiri dalam waktu tiga bulan. Namun, ajakan itu ditolak dengan alasan kepemilikan lahan, mencerminkan kompleksitas persoalan sosial dalam konflik lahan konservasi.
Situasi ini menjadi cerminan tantangan besar konservasi hutan di Indonesia, di mana kepentingan ekonomi dan sosial kerap berbenturan dengan perlindungan lingkungan. Diperlukan langkah tegas dan sinergi antarlembaga agar penegakan hukum tidak hanya menjadi formalitas, tetapi benar-benar berpihak pada kelestarian alam.