Kisah Janda Penjual Bubur Kuliahkan Tiga Anaknya

Selasa, 02 Agustus 2016 | 10:39:39 WIB
ilustrasi
HIDUP menjanda semenjak 1989 tak menjadikan Petrosa Dua Ate, perempuan kelahiran Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 1960 ini patah semangat. Kehilangan suami tak membuatnya berhenti dan putus asa dalam mendidik ketiga putranya.
 
Perempuan yang akrab disapa Ibu Pepy ini memiliki keinginan kuat agar ketiga putranya yang bernama Eduardus Vinsensius atau Edwin, Matheus Paeceli Della atau Tens dan Yohanes Mayolis atau Yolis bisa terus bisa mengeyam pendidikan hingga tingkat tertinggi, meski dalam keadaan ekonomi tersulit sekali pun. 
 
Saat ditinggalkan sang suami, Yakobus Ponang, ketiga putranya telah berusia dua, tujuh dan sembilan tahun. Rasa sedih dan kebingungan tentu dia rasakan saat suami harus meninggalkannya. Pepy terpaksa menjadi tulang punggung seorang diri di keluarganya. 
 
Mulai saat itu, ia mulai memulai usaha menjadi tukang bubur di pinggir jalan, tepatnya di wilayah Maumere, Flores, NTT. “Sebelum suami meninggal, saya gak ada kerjaan. Suami saya dulu tukang jahit. Setelah dia tiada, saya mulai jualan bubur di pinggir jalan dan bantu-bantu timbang barang,” kata Pepy di Hotel Menara Peninsula, Jakarta, belum lama ini.
 
Kirim Anak ke Luar Daerah
Meski dalam keadaan ekonomi sulit, Pepy tak ingin anak-anaknya berhenti sekolah. Karena itu, sejak ditinggal suami, dia selalu giat mengumpulkan uang demi pendidikan ketiga putranya.
 
Pendidikan yang diberikan Pepy kepada tiga putranya pun tak tanggung-tanggung. Ia selalu mengupayakan agar anak-anaknya bisa mengeyam pendidikan asrama di luar wilayah tempat tinggalnya.
 
“Saya tidak mau anak saya rusak moralnya, apalagi di wilayah saya, anak mudanya suka merokok dan mabuk. Jadi saya asramakan anak-anak saya,” kata dia.
 
Setelah lulus SMA, Pepy meyakinkan diri anak pertamanya harus melanjutkan kuliah. Anak pertamanya, Edwin pun mulai mengikuti serangkaian tes untuk bisa masuk perguruan tinggi negeri dengan biaya sendiri. Hingga akhirnya, dia pun diterima sebagai mahasiswa teknik elektro di Universitas Sanata Darma, Yogyakarta. Edwin lulus kuliah dalam waktu 4,5 tahun dengan predikat cum laude pada 2003. 
 
Enggan Berhenti Bekerja
Setelah lulus, Pepy sebenarnya meminta Edwin untuk mengikuti tes Pegawai Negeri Sipil (PNS) di daerahnya. Sayangnya, anak sulungnya tersebut menolak dan memilih bekerja di salah satu perusahaan telekomunikasi Jakarta. 
 
“Mereka gak mau jadi PNS karena gajinya kecil. Kalau kecil, katanya nanti gak bisa bantu saya. Siapa yang bantu mama kata dia. Jadi dia lebih baik rantau ke Jakarta,” katanya. 
 
Meski kini uang yang diberikan anak-anaknya sudah cukup, tapi Pepy tak mau berhenti bekerja. Dia mengaku tidak betah hanya berdiam diri menunggu kiriman dari anak-anaknya. Ia juga tak ingin pindah dari daerah asalnya walaupun putra-putranya berkali-kali mengajaknya hijrah.
 
Seperti dikutip buku Profil Penerima Penghargaan Orang Tua Hebat dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), tidak hanya Pepy yang berhasil dalam kariernya. Kedua putra lainnya pun mengikuti jejak yang sama. 
 
Anak keduanya berhasil mendapatkan beasiswa di jurusan teknik kimia Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta dan telah bekerja di salah satu perusahaan besar. Sementara anak bungsunya, Yohanes tengah merampungkan kuliahnya di Universitas Sanata Darma Yogyakarta.
 
“Dan Edwin sekarang sudah mulai mencoba buka perusahaan sendiri di bidang semen,” katanya.
 
Karena usaha kerasnya, Pepy pun memperoleh penghargaan sebagai orang tua hebat dari Kemendikbud pada Sabtu (30/7). Dia mengaku terharu dan senang atas apresiasi yang diberikan pemerintah. 
 
“Seketika rasa lelah saya hilang dan saya sangat bersyukur,” ucap dia. (das/rpk)
 

Terkini