Makan Bajambau dan Keharmonisan Masyarakat Bangkinang Seberang

Kamis, 14 Juli 2016 | 23:13:02 WIB
Suasana Makan Bajambau pada hari Raya Enam di desa Pulau kecamatan Bangkinang Seberang kabupaten Kam

SEBAGIAN rombongan peziarah sudah usai mengunjungi salah satu pemakaman umum, saat aku tiba di desa Muara Uwai, kecamatan Bangkinang Seberang, kabupaten Kampar, Rabu 13 Juni 2016 kemarin. Barisan peziarah mengular sepanjang jalan desa.

Raya Enam, atau orang-orang biasa menyebut Lebaran Ketupat. Menurut masyarakat setempat keramaian seperti itu hanya akan terlihat pada hari Raya Enam, hari besar setelah enam hari berpuasa selepas Idul Fitri. Prosesi mulai dari ziarah kubur, Makan Bajambau hingga bersilaturahmi dengan sanak saudara.

Ziarah kubur dilaksanakan hampir di seluruh desa yang ada di wilayah Bangkinang Seberang. Masyarakat melaksanakan ziarah kubur bersama-sama dan serentak, lalu membacakan doa-doa.

Meski terik matahari cukup menyengat, tak menyurutkan langkah para peziarah berkeliling untuk berziarah ke makam-makam umum maupun makan milik suku atau keluarga. Usai ziarah kubur, masyarakat makan bersama atau makan Bajambau di masjid-masjid yang telah ditetapkan di setiap desa.

Kebersamaan ziarah kubur dan makan Bajambau merupakan momen yang ditunggu-tunggu masyarakat. Terlebih warga setempat yang pulang dari perantauan.

Hari Raya Enam memang sudah menjadi tradisi yang dijalankan secara turun temurun. Hari Raya Enam merupakan rangkaian ziarah kubur yang dilakukan secara bersama oleh masyarakat.

Kaum bapak mengunjungi pemakaman dan mendoakan para pendahulu yang telah dimakamkan. Selain mendoakan, ziarah kubur juga sebagai bentuk instropeksi diri agar mengingatkan kita kepada kematian.

Ziarah kubur dimulai pada pagi hari. Seluruh kaum pria, tua muda, anak-anak hingga dewasa, pawai bersama. Mereka akan berhenti untuk berdoa di setiap perkampungan. Ketika berpapasan dengan rombongan dari perkampungan lain, di sanalah menjadi moment untuk saling berjabat tangan untuk memaafkan.

Sementara kaum pria ziarah kubur, kaum ibu dan remaja putri, sibuk mempersiapkan juadah untuk makan Bajambau. Usai ziarah, makan bersama warga perkampungan pun dilakukan. Makan dilaksanakan di masjid terdekat. Ada pula di rumah-rumah warga. Tentunya, dengan para tetangga. Sungguh keharmonisan bermasyarakat yang tak akan punah selama tradisi ini tetap terjaga.

Cerita momen hari Raya Enam bahkan jauh lebih meriah dibanding hari Raya Idul Fitri bukan bualan semata. Aku semakin takjub, begitu tiba di salah satu masjid di desa Pulau yang masih berada di Bangkinang Seberang.

Kaum pria, tua muda hingga anak-anak dan dewasa sudah berkumpul baik di dalam masjid pun di luar masjid. Mereka duduk berbaris dan berhadapan. Di depan sudah tersedia hidangan yang dibawa dan disiapkan kaum wanita. 

"Sekarang sudah berkembang. Dulu tradisi ini awalnya dari desa Pulau. Sekarang sudah meluas sampai Salo dan desa-desa lain," kata Hartini (54) salah seorang warga desa Pulau, membuka obrolan.

Hartini bersama kaum ibu lainnya tampak sibuk mempersilahkan kaum pria yang datang untuk menyantap makanan yang disuguhkan. Kebersamaan, keharmonisan yang tercipta dari sebuah tradisi Raya Enam benar-benar menciptakan sebuah 'keluarga besar'. (das)

Terkini