Benarkah Wanita Tidak Boleh Keluar Rumah?

Selasa, 05 April 2016 | 11:25:38 WIB
Ustazah Nella Lucky S.Fil.I.,M.Hum. (Foto: Istimewa)
Oleh: Ustazah Nella Lucky S.Fil.I.,M.Hum.
 
Bolehkah wanita keluar rumah?
 
Orang-orang mengatakan, "Bagaimana mungkin kalian menginginkan seorang wanita untuk keluar rumah ataupun terjun ke dunia dakwah dan pergerakan padahal kamu tahu bahwa Al Quran telah menyuruh wanita untuk tetap tinggal di dalam rumah?
 
"Dan hendaklah kamu di rumahmu dan janganlah kamu berhias bertingkah laku seperti orang jahiliah dahulu." (Al Ahzab: 33)
 
Menurut Yusuf Qardhawi, ini hanya ditujukan untuk istri nabi karena istri nabi punya kekhususan.
 
Mari kita buka kembali lembaran sejarah, Aisyah tidak dilarang untuk memimpin perang Jamal, sebab ia wanita yg cerdas dan kuat. Khadijah pun tidak dilarang menjadi usawahati dan saudagar yang sukses pada masanya.
 
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa seluruh wanita harus diam dan tidak boleh keluar rumah adalah pendapat keliru. Karena ayat itu bukanlah pertanda bahwa wanita tidak boleh keluar rumah melainkan wanita yg harus dipenjara dan diam di dalam rumah adalah wanita yang telah melaksakanan perbuatan keji.
 
Hal ini terbukti dalam firman Allah SWT:
 
Kurunglah wanita itu di dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya "jika mereka melakukan perbuatan keji (An Nisa: 55)"
 
Ayat ini menunjukkan bahwa hendaklah wanita di dalam rumah jika ia berkemungkinan melakukan perbuatan keji, namun jika ia keluar rumah dalam melakukan hal positif dan produktif demi kebaikan diri, keluarga dan ummat sesuai dengan koridor perintah dan larangan Allah maka ia boleh keluar dari rumahnya. Karena apa? Karena berbagai ayat Allah yang mengamanahkan manusia (tanpa melihat jenis kelamin laki-laki dan perempuan) melakukan aktifitas.
 
Misalnya ayat yang mengatakan, "Hendaklah kalian bertebaran di muka bumi" Kata "kalian" dalam ayat tersebut tidak hanya dikhususkan untuk kaum Adam tetapi untuk untuk kaum Adam dan Hawa.
 
Adapun ayat Al Ahzab di atas adalah larangan wanita untuk keluar rumah dengan mencolok dan perhiasan. Sedangkan jika tidak mencolok maka tetap boleh keluar rumah dengan catatan tidak melakukan perbuatan keji.
 
Artinya, keluar rumah bagi wanita adalah mubah dan boleh. Ia akan menjadi kemaksiatan jika keluar rumah untuk perbuatan keji dan mendapatkan dosa. Namun jika keluar rumah melakukan hal positif ia tetap akan mendapat pahala. Lalu apa yg membedakan wanita dan laki-laki dalam hal itu?
 
Laki-laki juga dilarang keluar rumah jika melakukan perbuatan keji dan dianjurkan keluar rumah untuk kebaikan.
 
Artinya, bukan persoalan keluar rumah atau tidak, melainkan keluar rumah untuk melakukan perbuatan keji atau untuk kebaikan?
 
Memang ada hadits yang mengatakan, "Jika ada wanita tetap di rumah mengurusi anak dan suaminya maka syurga untuknya." 
Tetapi ini bukanlah dalil yang menunjukkan bahwa wanita dilarang keluar rumah. Ini hanyalah dalil yang memotivasi wanita untuk tetap mencintai suami dan anaknya. Mengatakan "surga untuknya" bukanlah pertanda bahwa wanita hanya boleh melakukan hal tersebut, hadits itu hanyalah upaya motivasi dan himbauan kepada wanita untuk tetap menghormati suami dan mencintai anaknya. 
 
Sekalipun hukum bekerja keluar rumah bagi wanita tetaplah boleh, tidak Fardhu Ain sebagaimana kaum Adam.
 
Lalu bagaimana status hukum jika ada seorang lelaki yang selalu melarang wanitanya keluar rumah? Maka disinilah analisa kasus hukum Islam berjalan.
 
1. Jika istri  keluar rumah untuk aktifitas mubah maka wanita haruslah taat dengan larangan suami. Mubah di sini adalah mengerjakan perbuatan yang sia-sia. Tetapi ingat, seorang suamipun jika keluar rumah melakukan perbuatan sia-sia, wanita berhak melarang. Artinya laki dan wanita memiliki status hukum sama.
 
2. Jika lelaki melarang wanita keluar rumah untuk melakukan pekerjaan yang baik namun tidak terlalu memberi manfaat, maka lelaki melarangnya dan wanita harus taat kepada suaminya. Mengapa? Karena mematuhi perintah suami wajib "selagi tidak melanggar syariat".
 
3. Jika suami melarang istri keluar rumah untuk melakukan pekerjaan wajib, maka kita teliti terlebih dahulu kasusnya. Jika larangan tersebut adalah larangan insidentil karena ada kewajiban lain yang harus dipenuhi, maka mematuhi suami wajib. Namun jika larangan tersebut bersifat permanent, misalnya suami melarang istri menuntut ilmu, mengikuti pengajian, majelis ilmu, melarang istri berdakwah, melarang untuk menyampaikan kebaikan, melarang untuk membayar zakat dan shadaqah, melarang istri untuk pergi ke panti asuhan, melarang untuk menjalin silaturrahmi demi kebaikan, maka larangan itu adalah larangan yang bathil. Dalam hal ini, istri boleh membantah suami dengan cara yang baik. Apa sebab, karena "tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan". Jika suami melarang istri menuntut ilmu, berdakwah, menebar kebaikan, bekerja demi kebaikan, maka saat itulah suami sedang melakukan kemaksiatan. Karena salah satu ciri kemaksiatan adalah "melarang orang lain berbuat kebaikan". Jika suami melarang istri menebar kebaikan pada saat itu ia telah melakukan kemaksiatan. Dan tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan.
 
Wallahua'lam
 

Terkini