Perang Harga, Bisnis e-Commerce Lokal Terancam Gulung Tikar

Perang Harga, Bisnis e-Commerce Lokal Terancam Gulung Tikar
Ilustrasi.
JAKARTA - Ketatnya persaingan di ranah bisnis e-commerce di Indonesia merupakan imbas dari praktik perang harga yang dilakukan perusahaan sehingga berpotensi menguntungkan konsumen.
 
Namun, menurut perusahaan analisis pasar International Data Corporation (IDC), perang harga itu akan justru bisa berujung pada kondisi kebangkrutan bagi sejumlah situs e-commerce lokal.
 
"Pemain industri e-commerce sudah over-crowded yang pada ujungnya akan berakhir di situasi bubble," terang Head of Consulting IDC Indonesia Meriva Munindra di Jakarta, Senin (20/11/2016).
 
Menurut Meriva, kondisi "bubble" tak akan terjadi apabila pemain industri e-commerce bisa menawarkan inovasi baru bagi konsumen yang selama ini ia nilai sangat minim. Sistem pembayaran adalah satu contoh aspek yang dapat dikembangkan.
 
Sejumlah situs e-commerce selama ini masih bertumpu pada sistem pembayaran konvensional seperti cash on delivery, transfer, dan internet banking. Berdasarkan hasil studi IDC, opsi tersebut justru menghambat sifat praktis dari layanan e-commerce.
 
Mereka menilai, sebuah situs e-commerce yang sebenarnya adalah yang melakukan seluruh proses transaksi secara online termasuk pada tahap pembayarannya. Namun, pengertian pembayaran via online juga hanya terbatas pada penggunaan kartu kredit saja, tanpa melibatkan jasa pihak ketiga.
 
Meriva merujuk kerja sama dengan perusahaan fintech seperti Paypal, Doku, atau Veritrans bisa menjadi kunci inovasi dalam sistem pembayaran e-commerce lokal. Sebab dengan sistem pembayaran saat ini kemudahan bertransaksi untuk konsumen masih sangat terbatas, terutama dalam hal penggunaan kartu kredit.
 
Penetrasi kartu kredit di Indonesia sendiri merupakan yang terendah di Asia Tenggara. Pada 2015, tercatat hanya 1,6 persen masyarakat Indonesia yang memiliki kartu kredit. Angka itu jauh tertinggal dari Malaysia yang mencapai angka 20,2 persen dan Vietnam sebesar 1,9 persen.
 
Meski demikian, IDC beranggapan inovasi tak melulu soal cara pembayaran. Country Manager IDC Indonesia Sudev Bangah berpendapat situs e-commerce lokal bisa meniru sistem algoritma Amazon untuk menarik pembeli.
 
"Kalau kita belanja di Amazon, kita bisa langsung melihat barang-barang yang sesuai selera kita di halaman pertama," tutur Sudev yang ditemui di tempat yang sama.
 
Sistem itu dimungkinkan karena adanya algoritma pintar yang dapat merekam riwayat aktivitas konsumen saat menjelajah sebuah situs e-commerce. Menurut Sudev, cara itu bisa menarik karakter impulsif konsumen Indonesia.
 
Dalam riset IDC, definisi e-commerce di Indonesia hingga saat ini masih tidak akurat. Pelaku industri e-commerce saat ini dinilai hanya memanfaatkan platform online sebagai "lapak" untuk memasarkan barang dagang yang sudah ada di toko fisik saja.
 
Riset mereka juga menemukan bahwa hanya sekitar 13,3 persen pengguna internet dalam negeri yang belanja barang secara online dengan rata-rata pengeluaran berkisar US$50 atau sekitar Rp700 ribu per bulan.
 
Hingga saat ini pemerintah menyebut nilai transaksi e-commerce mencapai US$18 miliar. Sementara pemerintah mengetahui mematok nilai perdagangan berbasis digital (e-commerce) di Indonesia mencapai US$130 miliar pada tahun 2020. "Taksiran pasar e-commerce di Indonesia amat sangat berlebihan," pungkas Sudev.
 
Hal tersebut lantaran adanya cara hitung nilai pasar saat ini dan proyeksinya yang berbeda. Nilai pasar e-commerce di Indonesia menurut IDC hanya mencapai US$200 juta pada 2016. Angka tersebut tentunya jauh dari hitungan pemerintah yang mencapai US$18 miliar. (fan/cnn)
 


Berita Lainnya

Index
Galeri